Satu per satu jawaban mengalir dari anggota Geng Rantang. Semua menjurus pada penampilan fisik kubahnya yang menyerupai bola dibelah dua namun dengan posisi agak ditarik di bagian puncaknya. Orang Jawa menyebutnya “blenduk”. Bahasa lokal yang kemudian lebih populer dibandingkan nama lahir gereja ini.
Di dalam foto-foto lama, Gereja Blenduk disebut sebagai Koepelkerk. Mungkin nama itu mengacu pada keberadaan dua menara kembar di sisi bagian depan gereja.
Gereja ini meskipun tampak megah di luar namun sepertinya tak banyak menampung umat. Meskipun demikian unsur kebesaran Tuhan tetap dicitrakan lewat jarak lantai dengan bagian atap yang cukup tinggi.
Sebuah prasasti berangka tahun 1894-1895 yang dipasang di bagian bawah pilaster (kolom semu) dekat mimbar mengantar kami pada masa-masa pembangunan kedua gereja ini. Gereja Blenduk diduga kuat mengalami dua kali tahap pembangunan yang penting, yaitu pada 1753 dan 1894.
Selain nama arsitek yang bertanggungjawab merenovasi gereja, prasasti tersebut juga memuat nama pastor yang bertugas pada rentang tahun tersebut. Ada pula prasasti baru yang memuat nama-nama pastor dari awal pendirian gereja hingga yang aktif di masa sekarang.
Tangga baja di ruang bagian belakang gereja tak dipungkiri mencuri perhatian kami. Bentuknya yang spiral dengan ornamen floral menyelipkan tanya di benak saya. Tangga spiral secara bentuk tidak begitu mendukung pergerakan orang karena sempit. Tapi jika melihatnya dari aspek estetika maka wajar saja kalau arsitek perancangnya memilih untuk menjadikan tangga cantik ini bagian dari elemen interior gereja.