Cerita kami awali di Candi Sojiwan. Candi bernafaskan agama Buddha ini menjadi pembuka yang cukup menyegarkan lewat relief binatangnya. Relief binatang yang dipahatkan di sini menyampaikan pesan moral yang sederhana namun sarat makna. Misalnya saja relief seekor sapi jantan yang sedang berjalan kemudian diikuti oleh serigala di belakangnya. Terkisah bahwa si serigala dan istrinya hidup di sebuah daerah yang penuh dengan tikus. Soal makan bukan perkara sulit di sana. Tapi, suatu hari sang istri meminta kepada suaminya untuk diambilkan scrotum [kantung zakar] seekor sapi jantan. Maka untuk memenuhi keinginan istrinya si serigala pun mengikuti kemana pun si sapi pergi, berharap scrotum akan jatuh dan dapat dibawa pulang. Hingga 15 tahun lamanya, scrotum si sapi tak kunjung jatuh. Serigala pun menyerah dan pulang serta melaporkan kepada istrinya bahwa ia gagal membawa scrotumsapi jantan. Hikmah di balik cerita ini ialah jangan sekali-sekali berharap terlalu tinggi pada sesuatu yang jelas tidak mungkin terjadi. Relief ini menyedot banyak perhatian dari seluruh peserta. Lumayan untuk pemanasan guna menempuh perjalanan berikutnya.
Jalanan aspal berganti menjadi jalanan yang diperkeras dengan batu. Namun, pemandangan masih sama, hutan meranggas dan ladang yang kosong tanpa tanaman. Nafas mulai satu satu ketika kami mendaki bukit tempat Candi Ijo berdiri. Butuh beberapa kali berhenti untuk dapat sampai ke puncak. Semua peserta sebenarnya cukup tangguh untuk melewati medan yang memang tidak biasa ini. Namun, sinar matahari yang seolah-olah memancar dari sembilan sumber menjadi perintang utama perjalanan menuju Candi Ijo. Dengan semangat empat lima, lagu Indonesia Raya pun berkumandang dari para peserta [Sob, salah satu penggagasnya], menjadi pompa semangat untuk sampai ke Candi Ijo yang sudah di pelupuk mata.
Di Candi Ijo, semua peserta “tewas” di dalam candi utama. Hampir seluruhnya dalam posisi berbaring. Jika saja ini adalah era seribu tahun yang lalu, kami semua pasti sudah dikeluarkan dari kasta terendah dan akan hidup tanpa kasta. Tapi, sekarang kami semua bersantai melepas lelah sambil mendengarkan dongeng seputar Candi Ijo di dalam candi utama yang adem ini.
Tenaga kami sudah sedikit pulih. Kami siap melanjutkan perjalanan menuruni bukit menuju Candi Barong. Bayangan akan semangka merah tanpa biji menari-nari di kepala, hampir saja menciptakan fatamorgana. Semangat “semangka” itu semakin mempercepat gerak langkah kami ke Candi Barong.
Di Candi Barong, Ashar –seorang teman yang juga Arkeolog- sudah menunggu kami dengan sebuah semangka merah tanpa biji, satu termos nasi, satu galon air isi ulang, satu rantang sayuran, dan beberapa kotak berisi lauk pauk. Lalu kami mengeluarkan wadah makan masing-masing dan mengisi perut yang sedari tadi sudah protes minta diisi.
Selepas makan, kami mendengarkan cerita Ashar yang kebetulan pernah terlibat dalam sebuah proyek pemugaran di Candi Ijo. Dari pancingan cerita itu muncul banyak pertanyaan. Di sini juga kami melakukan simulasi sederhana tentang cara-cara pengujian lokasi lahan yang cocok untuk didirikan sebuah bangunan suci. Dan, diskusi pun terus berlanjut.
Perjalanan selanjutnya ialah menuruni bukit menuju Candi Banyu Nibo. Di candi ini kami dihadapkan pada gambaran kondisi sosial masyarakat Jawa Kuna terutama perihal kehidupan beragama. Tinggalan di Candi Banyu Nibo tampaknya dapat bercerita mengenai kondisi itu. Di candi yang bernafaskan Buddha ini ditemukan juga tinggalan-tinggalan bernafaskan Hindu. Tinggalan dari dua nafas agama yang berbeda di satu tempat mengindikasikan sebuah nilai toleransi. Hal itu kemudian menjawab pertanyaan salah seorang peserta tentang kondisi sosial masyarakat Jawa Kuna.
Selesai di Banyu Nibo, kami harus mendaki bukit lagi untuk sampai di Ratu Boko. Perjalanan mendaki kali ini tidak seberat tadi siang. Matahari sudah cukup bersahabat. Jadi, tanjakan-tanjakan yang cukup ekstrem menuju Candi Ratu Boko pun dilewati dengan tersenyum saja.
Sebelum berkeliling di Ratu Boko kami sempat melakukan permainan “Susun Silsilah Raja-Raja Mataram Kuna”. Permainan yang seharusnya dimainkan dalam alur yang panjang ini terpaksa harus dimodifikasi agar dapat dimainkan dalam tempo cepat karena kendala waktu. Dari sepuluh peserta hanya satu peserta yang menjawab dengan benar silsirah raja-raja itu. Mungkin periode Mataram Kuna memang tidak populer di bangku sekolahan dulu.
Momen matahari terbenam pun tinggal kenangan. Hujan rintik-rintik dan gumpalan awan menyembunyikan Sang Surya yang seharian ini bersinar garang. Kami pun akhirnya hanya pasrah dan berjalan menuju bagian tenggara kompleks. Di sana terdapat tiga miniatur candi yang erat kaitannya dengan penyaluran air suci. Di lokasi ini lah kami menutup kisah perjalanan menyusuri candi-candi di kawasan Siva Plateau hari ini. Beberapa di antara kami masih takjub memandang dua bukit yang berjejer di depan mata. Sehari ini kami naik turun tiga bukit, sebuah proses perjalanan yang menjejakkan kesan pribadi di pikiran masing-masing.