Kereta Kanjeng Nyai Jimat mungkin jadi kereta tertua yang dimiliki oleh Museum Kereta Keraton Yogyakarta. Menurut beberapa referensi –dan menguping pemandu- kereta ini digunakan semasa HB I. Kereta dibuat di Belanda antara 1750 - 1760 dan merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761). Kalau benar begitu berarti kereta ini berusia sekitar 254 – 264 tahun. Wow!
Ada sekitar sembilan orang abdi dalem yang terlihat sedang berusaha mengeluarkan kereta Kanjeng Nyai Jimat. Dalam foto hitam putih itu kemungkinan besar kereta akan mengalami proses jamasan. Sayangnya foto lama tersebut tidak dilengkapi dengan angka tahun.
Kereta Kanjeng Nyai Jimat mungkin jadi kereta tertua yang dimiliki oleh Museum Kereta Keraton Yogyakarta. Menurut beberapa referensi –dan menguping pemandu- kereta ini digunakan semasa HB I. Kereta dibuat di Belanda antara 1750 - 1760 dan merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761). Kalau benar begitu berarti kereta ini berusia sekitar 254 – 264 tahun. Wow!
0 Comments
Agak terhenyak juga ketika tak sengaja mendengar percakapan seorang pemandu Museum Sonobudoyo dengan sekelompok remaja di pameran temporer Sang Ksatria, Gedung BI lama, beberapa waktu yang lalu. Mereka tak tahu dimana lokasi Museum Sonobudoyo. Dengan sabar si pemandu museum pun memberikan petunjuk lokasinya.
Berlokasi di pusat kota, hanya sepelemparan batu dari Alun-alun Utara ternyata tak jadi jaminan Museum Sonobudoyo dikenal orang. Apa sebab? Bisa jadi promosi yang kurang atau memang sebagian orang tak berminat berkunjung atau mencari tahu tentang museum. Tulisan ini bukan menceritakan kemeriahan prosesi penyerahan gunungan oleh Keraton Yogyakarta pada masyarakat. Bukan pula menceritakan tentang sejarah dan filosofi grebeg. Tulisan ini mencoba memberikan sudut pandang yang berbeda mengenai pelaksanaan acara Grebeg Maulud 2014. Garebeg atau grebeg merupakan salah satu acara ritual Keraton Yogyakarta yang selalu dinantikan tiap tahunnya. Tidak hanya oleh warga Yogyakarta, tapi juga wisatawan. Walau grebeg diselenggarakan tiga kali dalam setahun, namun tampaknya Grebeg Maulud merupakan upacara grebeg yang paling ramai dikunjungi. Kemungkinan karena diselenggarakan saat tanggalan merah, tepat di hari kelahiran Rasulullah. Sementara dua grebeg lainnya, Grebeg Syawal dan Grebeg Besar, diselenggarakan pada Hari Raya Idul Fitri & Idul Adha, di mana seusai salat warga disibukkan dengan berbagai acara di rumah, kampung atau lingkungan mesjid. Biasanya rombongan bregodo dan abdi dalem yang membawa gunungan keluar dari Keraton Siti Hinggil sekitar pk.10.00. Namun sejak pagi warga telah mendatangi Alun-alun Lor. Begitu juga halnya saya, sejak pagi telah bergegas menuju Alun-alun Lor. Tak sabar ingin menyaksikan parade bregodo keraton yang mengkawal gunungan persembahan sang sultan untuk rakyat. Ya, saya senang mengamati satuan-satuan bregodo yang berbaris dengan lantunan lagu yang berbeda satu sama lainnya. Selain itu, menarik juga untuk belajar mengenali bregodo berdasarkan seragam dan berbagai atributnya. Jembatan kayu itu terlihat kecil sekali, hanya membentuk garis tipis di tengah Sungai Jambi yang sedang panen air. Sempat grogi juga saat melintas di atasnya. Saya pun memilih berjalan kaki, turun dari motor. Menapaki jejak paku-paku yang melesap pada kayu-kayu yang jadi rangka jembatan ini. Bagi saya itu jauh lebih aman ketimbang menginjak papan yang tak ada pakunya. Semakin dekat ke daratan maka Candi Kedaton pun semakin terlihat oleh saya. Masih terasa aura kesakralan tempat ini, sama seperti ketika empat tahun yang lalu berkunjung ke sini. Candi Kedaton seperti memiliki kekuatan tersendiri yang mampu menenangkan jiwa, segundah apapun itu. Kini pohon-pohon yang menaungi gundukan-gundukan tanah di sekitar candi induk Kedaton sudah banyak ditebang. Begitu juga semak belukar yang sudah mulai dibersihkan. Hal itu membuat Candi Kedaton lebih “terlihat”, lebih terang daripada sebelumnya. Susunan bata-bata pun mulai ditampakkan melalui kegiatan ekskavasi. Kadang singkapan itu membentuk semacam pagar. Kadang pula memunculkan gapura. Tak jarang yang berupa pondasi dari sebuah bangunan. Gapura cantik di sisi utara Candi Kedaton yang dilengkapi dengan dua makara di sisi dalam dan satu makara di sisi utara sudah rampung direkonstruksi. Sementara itu penelitian terakhir [06/2013] yang dilakukan oleh teman-teman UI menghasilkan sebuah temuan sumur di sisi timur laut dari Candi Kedaton. Selama ini tinggalan berupa fitur air hanya didapatkan dalam bentuk kolam dan kanal. Maka penemuan tersebut sangat berarti untuk membantu merekonstruksi kehidupan di dalam komplek percandian Muarajambi. Memang belum begitu banyak kisah yang bisa diungkap mengenai Candi Kedaton untuk saat ini. Temuan isian batu candi berupa batu berakal berjenis kuarsa yang diletakkan di sisi barat candi pun masih menanti sebuah reka ulang yang didukung dengan data yang kuat. Begitu pula kehadiran periuk belanga berbahan tembaga di candi ini. Apakah untuk kepentingan ritual atau keperluan lain masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Bersama riuh rendah suara tonggeret saya melemparkan imajinasi ke masa ratusan tahun yang lalu. Mungkin saja I Tsing pernah berkunjung ke candi ini. Naik perahu melalui Sungai Jambi dan menjejakkan kaki di keagungan Kedaton. Boleh jadi dia tak pakai perahu melainkan berjalan kaki dari Candi Gedong I atau Candi Kotomahligai. Kemudian melewati gapura tinggi nan memesona. Atau biksu Atisha, bisa jadi pernah mampir kemari untuk melantunkan puja dan puji di candi ini. Seperti dikatakan oleh George Coedes (*) bahwa seorang biksu dari Tibet bernama Atisha pernah berguru kepada Dharmakrti yang merupakan pendeta tertinggi di Swarnadwipa (1011-1023). Masih banyak keping sejarah yang harus ditemukan untuk mengungkap kisah di Candi Kedaton. Semoga masih banyak pula waktu yang tersisa untuk mengupas lembar demi lembar kisah di tengah salah satu pusat keramaian Kerajaan Sriwijaya ini. [KWA Wardani/Jaladwara] Untuk mengenal lebih dekat sebuah kota ada baiknya dimulai dengan mengunjungi museumnya. Museum ibaratnya jendela untuk kita berangkat mengamati hal-hal yang lebih detil. Meskipun kebanyakan museum menyandang predikat tidak menarik untuk didatangi namun tak bisa disangkal bahwa banyak informasi awal tersimpan di sini.
Kebetulan sekali saya sedang berlibur di Kota Jambi. Maka Museum Siginjai masuk dalam daftar teratas tempat-tempat yang harus saya kunjungi. Museum yang diresmikan pada 1988 ini awalnya bernama Museum Negeri Jambi. Barulah pada 2012 berganti nama menjadi Museum Siginjai untuk lebih mendekatkan pada ingatan kolektif masyarakat lokal. Siginjai diambil dari nama keris seorang raja Jambi, Orang Kayo Hitam. Saya ingat betul sering menyanyikan lagu yang memuat nama keris itu saat duduk di bangku SMP dulu. Hampir seperti kebanyakan museum-museum daerah yang pernah saya kunjungi, situasi di Museum Siginjai sore itu tampak lengang. Hanya ada seorang petugas tiket di meja resepsionis sedang menonton televisi. Sementara itu papan informasi mengenai status buka/tutup museum berada dalam posisi TUTUP. Oleh karena itu awalnya saya sempat ragu untuk masuk ke dalam. Ternyata itu kelalaian petugas. Museum masih buka. Setelah membayar tiket sebesar Rp 1.500 maka saya pun mulai mengeksplorasi ruangan demi ruangan. Ruang Khasanah Budaya Jambi menjadi titik pertama. Saya harus melepas alas kaki sebelum memasuki ruangan ini. Alangkah terkejutnya saya ketika menemukan dua “koleksi” temporer museum yang sedang tertidur lelap. Mereka adalah pegawai Museum Siginjai. Mungkin ruangan yang memiliki pendingin dan beralaskan karpet ini merupakan tempat yang sangat cocok untuk siesta. Sedih sekali melihatnya mengingat koleksi-koleksi yang disimpan di dalam ruangan ini bernilai sangat tinggi. |
Blog JaladwaraHalaman ini memuat kisah petualangan Jaladwara. Tak melulu tentang catatan perjalanan trip berbayar melainkan juga pandangan mata saat tim Jaladwara bertualang ke berbagai tempat di Nusantara :) Arsip
March 2021
Kategori
All
|