Garebeg atau grebeg merupakan salah satu acara ritual Keraton Yogyakarta yang selalu dinantikan tiap tahunnya. Tidak hanya oleh warga Yogyakarta, tapi juga wisatawan. Walau grebeg diselenggarakan tiga kali dalam setahun, namun tampaknya Grebeg Maulud merupakan upacara grebeg yang paling ramai dikunjungi. Kemungkinan karena diselenggarakan saat tanggalan merah, tepat di hari kelahiran Rasulullah.
Sementara dua grebeg lainnya, Grebeg Syawal dan Grebeg Besar, diselenggarakan pada Hari Raya Idul Fitri & Idul Adha, di mana seusai salat warga disibukkan dengan berbagai acara di rumah, kampung atau lingkungan mesjid.
Biasanya rombongan bregodo dan abdi dalem yang membawa gunungan keluar dari Keraton Siti Hinggil sekitar pk.10.00. Namun sejak pagi warga telah mendatangi Alun-alun Lor.
Begitu juga halnya saya, sejak pagi telah bergegas menuju Alun-alun Lor. Tak sabar ingin menyaksikan parade bregodo keraton yang mengkawal gunungan persembahan sang sultan untuk rakyat.
Ya, saya senang mengamati satuan-satuan bregodo yang berbaris dengan lantunan lagu yang berbeda satu sama lainnya. Selain itu, menarik juga untuk belajar mengenali bregodo berdasarkan seragam dan berbagai atributnya.
Seperti halnya tahun lalu, kali ini saya juga datang agak terlambat. Pukul 8 pagi baru melaju dari rumah. Semoga saja saya masih bisa mendapatkan keberuntungan seperti tahun lalu.
Saat memasuki Jl. Ibu Ruswo (dari Jl. Brigjen Katamso), sudah tampak antrian kendaraan bermotor yang akan melintas. Kendaraaan bermotor, khususnya mobil, yang ingin mengarah ke Alun-alun Lor dialihkan ke Jl. Wijilan. Untung saya ngegowes sepeda, yang artinya saya memiliki keleluasaan untuk memilih rute jalan yang ingin ditempuh.
Di sepanjang jalan saya memutar otak, mencari lokasi yang strategis dan aman untuk memarkir sepeda. Pastinya sih yang juga tidak dipungut bayaran parkir. Tidak adil kan, kalau kita sudah ikut mengurangi polusi udara dan suara di kota serta minim menggunakan ruang jalan (dan parkir), kok masih ditarik bayaran .
Saya pun melaju memutari Alun-alun Lor, melewati Jl. Pekapalan hingga di depan pintu masuk Mesjid Gede Kauman. Di sepanjang jalan tampak para tukang parkir liar – yang sepintas mirip dengan pedagang villa di puncak - menawarkan villa, eh...area parkir. Semua area kosong habis digunakan untuk parkir motor. Tidak hanya di pinggiran alun-alun, halaman rumah, parkir kantor, termasuk Museum Kereta, bahkan di badan jalan pun motor-motor parkir berjejer bagai etalase ’showroom’ motor.
Sementara di tengah Alun-alun Lor, masih penuh diisi oleh stand-stand dan area bermain Pasar Sekaten. Terdengar suara dari pengeras suara pengisi stand serta penyelenggara acara yang tiap saat mengeluarkan berbagai pengumuman terkait dengan acara grebeg.
Bising sekali. Sama sekali tak terasa nuansa sakral penyelenggaraan Grebeg Maulud.
Akhirnya saya memutuskan untuk parkir di bagian selatan Mesjid Gede, masuk dari Jl. Kauman. Berharap di area tersebut lebih kosong. Ternyata dugaan saya keliru. Iyalah, di saat seperti ini mana ada ruang dibiarkan kosong menganggur, pasti digunakan untuk area parkir atau lapak PKL. Hampir seluruh area di depan Mesjid Gede, dipasangi tenda-tenda untuk pedagang makanan.
Sepertinya tiap ruang kosong di sekitaran Alun-alun Lor menjelma sebagai mesin uang.
Kebetulan tepat di pintu masuk, terdapat parkiran motor. Sementara di bagian tembok, tepatnya di dalam parit yang kering, tampak sepeda diparkir paralel. Yah nasib jadi sepeda, walau ’ramah’ sekali pun, nyaris tak pernah mendapat tempat di hati para pengelola parkir, apalagi pemerintah.
Untuk acara ritual yang sudah berlangsung ratusan tahun seperti grebeg, memang lebih terasa nuansa tradisionalnya jika para pengunjung datang dengan berjalan kaki. Seperti halnya 10-15 tahun yang lalu, ketika masih banyak yang berjalan kaki beramai-ramai dari kota-kota kabupaten sekitar Yogyakarta demi menyaksikan grebeg.
Saat hendak memasuki Bangsal Ponconiti, saya terkejut melihat begitu banyaknya orang yang sudah mengambil posisi menyaksikan bregodo yang bersiap akan masuk ke dalam keraton. Yang lebih membuat saya tertegun, ada banyak sekali pedagang memenuhi area tersebut. Dari pedagang makanan, minuman, es krim, rujak, balon, endog abang, sirih pinang, dsb.
Rasanya ingin pulang saja melihat kesemrawutan ini.
Saya pun jadi bertanya-tanya, apakah penonton acara Grebeg Maulud tahun ini memang lebih ramai dari tahun kemarin? Ataukah jumlah pedagangnya yang jauh lebih banyak? Untuk pertanyaan yang kedua, saya yakin jumlah pedagang memang jauh lebih banyak.
Setelah terdiam beberapa saat di pintu gerbang Bangsal Ponconiti, akhirnya saya memutuskan untuk bergerak menuju jalan di depan Bangsal Pagelaran. Barangkali di sana kondisinya berbeda.
Masalah berikutnya adalah ternyata ruas Jalan Rotowijayan sudah dipenuhi oleh kendaraan bermotor. Belum lagi di kiri kanan jalan berjejer motor-motor yang parkir. Sementara trotoar digunakan lagi-lagi untuk pedagang.
Warga yang berjalan kaki pun – termasuk wong sepuh, ibu-ibu yang menggendong anak, anak kecil yang digandeng orang tuanya - harus lihai bermanuver di antara kendaraan bermotor atau para pedagang. Sepertinya acara grebeg ini memang hanya ditujukan untuk motor-motor dan pedagang kaki lima.
Ironisnya, tidak ada yang peduli dengan orang-orang yang ingin menonton dengan berjalan kaki. Atau, mungkin karena berjalan kaki sudah tidak lagi menjadi bagian dari budaya masyarakat Yogyakarta.
Ketika tiba di depan Jl. Kauman, tampak motor-motor menutup rapat ruas jalan. Semua pengendara motor tak sabar ingin merangsek masuk ke area parkir di barat daya Alun-alun Lor. Tak ada ruang tersisa bagi ’apapun’ yang ingin melintas. Mereka yang berjalan kaki terpaksa bersusah payah ’menipiskan’ badannya agar bisa lalu di antara motor-motor, menuju Mesjid Gede.
Rasanya tak habis pikir, untuk sebuah acara ritual yang selalu ramai, sepertinya tak ada yang mengorganisir agar tidak perlu ada kesemrawutan yang akan mengurangi nilai kesakralan tradisi grebeg.
Banyak yang bisa dilakukan agar masyarakat yang datang dapat menonton dengan tertib dan nyaman. Toh acara ini memang ditujukan bagi masyarakat Yogyakarta (dan wisatawan).
Harusnya tak sulit bagi keraton untuk memberikan himbauan pada masyarakat yang ingin menonton demi penyelenggaraan grebeg yang tertib dan khidmat. Misalnya saja sejak pk.06.00, semua ruas jalan menuju Alun-alun Lor dinyatakan tertutup bagi kendaraan bermotor.
Serupa dengan penyelenggaraan Pasar Sekaten beberapa tahun yang lalu, di mana seluruh area Alun-alun Lor tertutup bagi kendaraan bermotor.
Jadi di area tersebut hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Becak dan andong hanya boleh masuk untuk menurunkan penumpang, namun harus segera keluar area jika ingin menunggu penumpang.
Jika mendengar cerita penyelenggaraan grebeg di tahun-tahun yang silam, banyak rombongan pengunjung yang berinisiatif untuk datang dengan truk bak terbuka. Tentu saja ini sangat efektif untuk mengurangi penggunaan lahan untuk parkir motor.
Bagaimana dengan para pedagang? Tentu saja pedagang, khususnya pedagang makanan & minuman, amat sangat dibutuhkan keberadaannya di sebuah acara keramaian seperti ini. Namun perlu diatur lokasinya agar tidak ada kelompok yang beradu kepentingan. Toh kehadiran pedagang makanan dan minuman melengkapi kebutuhan para penonton.
Tapi mungkin ini bagian dari karakter Keraton Yogyakarta di zaman modern yang ingin masyarakatnya dapat menikmati acara rutin grebeg, tanpa harus banyak mengatur. Semuanya dibiarkan berjalan organik. Jika acara bisa berjalan dengan tertib dan nyaman, maka itu dikarenakan masyarakatnya sendiri yang bisa mengatur diri, bukan karena titah dari keraton. Tapi apakah itu mungkin?
Pedagang dan pengunjung yang tumpah ruah
Setelah berjuang mengarungi stand-stand Pasar Sekaten (yang posisinya juga semrawut tak teratur) - bahkan sempat tersesat mencari jalan menuju area di depan Siti Hinggil - dan menerobos lautan penonton yang telah memadati area di sekitaran Siti Hinggil, akhirnya saya berhasil mendapatkan tempat yang sedikit longgar tak jauh dari Beringin Kembar.
Pyuuuhh....akhirnya bisa sedikit menarik napas lega.
Lokasi tempat saya berdiri kebetulan merupakan titik strategis di mana sebagian pasukan bregodo dan gunungan akan berbelok ke arah barat, menuju Mesjid Gede. Dan sebagian lagi akan berjalan lurus menuju Kepatihan dan Pura Pakualaman.
Tentu saja ini sebuah himbauan yang sulit untuk dipenuhi. Bayangkan, tak jauh di belakang kerumunan berdiri terdapat stand-stand Pasar Sekaten, ditambah para pedagang keliling yang membawa gerobak atau sepeda. Alhasil masyarakat hanya dapat bergerak mundur sejauh 10-20 cm saja.
Dua mobil pun mulai berjalan maju bersisian untuk membuka jalan. Cara ini biasa digunakan untuk mengatur penonton dalam prosesi seperti ini. Namun karena tak ada tanda-tanda para penonton bergerak mundur, maka seluruh petugas pun mulai sibuk mendesak seluruh penonton di kiri kanan jalan agar segera mundur. Tetap saja masyarakat tidak berhasil mundur hingga berada di belakang batas jalan yang ditentukan.
Akhirnya petugas pun beramai-ramai mendorong paksa tubuh penonton yang berada paling depan (termasuk saya) agar yang di belakang ikut mundur.
Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya suasana saat itu. Padahal di belakang saya ada barisan massa yang cukup panjang, sekitar 2 meter. Yang paling kasihan adalah anak-anak kecil dan ibu-ibu yang harus menggendong anaknya. Mereka adalah kelompok yang paling lemah ketika petugas mendorong paksa untuk mundur.
Saat peristiwa saling dorong, terdengar suara anak-anak yang menangis, entah karena terinjak atau terjepit tubuh orang dewasa, serta ibu-ibu yang ngedumel, entah kesal dengan petugas, dengan yang berada di depannya atau di belakangnya.
Suasana baku dorong tidak hanya terjadi sekali ketika di awal prosesi saja. Karena masyarakat pelan-pelan akan bergerak maju kembali untuk melihat prosesi yang berlangsung. Tentu saja penonton yang berada di belakang juga butuh ruang untuk bernapas, sehingga mungkin mereka mendesak pelan agar yang di depannya maju.
Di tengah-tengah acara, ketika rombongan gajah (hanya 4 ekor gajah sih, tapi tetap saja butuh ruang yang besar), lalu barisan gunungan dan rombongan kuda keraton akan lewat, maka petugas pun harus berulangkali mengingatkan dan memaksa penonton untuk mundur.
Sepertinya kondisi yang saling dorong antar penonton bagi penyelenggara dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Belum lagi aksi berdesak-desakan antara penonton dan pedagang. Mungkin hal ini juga sudah menjadi tradisi grebeg dari tahun ke tahun. Jangan-jangan kesemrawutan menjadi salah satu bukti kesuksesan penyelenggaraan grebeg. Semoga saja tidak.
Dan saya pun bertanya-tanya, dengan jumlah penonton yang hampir selalu sebanyak ini, kenapa Pasar Sekaten tidak disudahi di hari sebelumnya. Dengan begitu, ada lebih banyak orang yang bisa ditampung untuk menyaksikan grebeg tanpa harus berebut ruang dengan para pedagang.
Jika Pasar Sekaten adalah bagian penting yang tidak bisa dihapus dari pelaksanaan grebeg, penyelenggara bisa memikirkan strategi lain. Misalnya, stand-stand diberikan lokasi yang tidak berdekatan dengan rute prosesi pawai grebeg. Sementara area di kiri-kanan jalur prosesi hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang ingin menonton.
Tentu saja ini berarti jumlah stand-stand yang disediakan harus dikurangi. Saya yakin keberadaan Pasar Sekaten berbeda dengan kegiatan bazaar pada umumnya. Pasar Sekaten pastinya bukan dimaksudkan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari penjualan stand.
Jika saja penyelenggara acara atau pihak keraton mau sedikit repot, acara rutin seperti grebeg, yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun, pastinya bisa lebih dikendalikan.
Jika diatur sedemikian rupa, ruang di Alun-alun Lor sangatlah memadai untuk menjamin kenyamanan semua pihak. Sehingga tak perlu terjadi peristiwa baku dorong antara petugas, penontong dan pedagang.
Kesemrawutan di grebeg: sebuah ’wangsit’ untuk berbenah diri?
Seusai acara grebeg, saya pun mengaso sesaat melepas dahaga di sebuah kedai jus favorit di dalam Kauman. Karena banyaknya pembeli yang antre, sementara sang ibu penjual yang bertugas seorang diri harus bergerak cepat ke sana kemari, maka saya pun menunggu dengan sabar. Di kedai, sempat terdengar kabar bahwa jalanan macet total. Tentu saja karena semua penonton yang menggunakan kendaraan bermotor keluar pada saat yang bersamaan.
Kira-kira sejam waktu yang saya habiskan di tempat jus, baru kemudian menggowes pulang. Saya tebak, kondisi jalanan harusnya sudah lebih lancar dari sebelumnya.
Tebakan saya keliru. Ketika memasuki Jl. Rotowijayan, jalan sudah mulai padat. Dan ketika berada di tikungan di depan Gadri Resto, langsung saya menyesali jalur yang saya pilih (atau menyesal karena masih kurang lama menunggu di kedai jus). Tampak jalanan dipadati oleh kendaraan bermotor (walau ada becak & sepeda juga) yang nyaris tak bergerak. Astaga!
Kemacetan seperti itu berlangsung cukup panjang hingga di depan Pasar Ngasem. Untung saya mengendarai sepeda yang sudah pastinya lebih luwes untuk menyelip di sela-sela kendaraan bermotor.
Kemacetan seperti ini pasti senantiasa terjadi tiap acara grebeg usai (dan acara keramaian lainnya). Dan jika tak ada upaya apa pun, bisa diramalkan bahwa di tahun-tahun mendatang, kemacetan akan semakin parah.
Hal ini harusnya dapat menjadi semacam ’wangsit’ bagi keraton - di mana Sultan HB X juga berperan sebagai Gubernur DIY - bahwa sudah saatnya pemerintah menyediakan fasilitas angkutan umum yang memadai bagi rakyat Yogyakarta.
Sejatinya fasilitas tersebut menjadi bentuk nyata dari makna grebeg yang merupakan upacara simbolis pemberian berkah dari Sultan. Dan ini menjadi bukti keberpihakan keraton pada manusia bukan pada kendaraan bermotor.
Jika yang menghimbau keraton, sudah pasti akan dipatuhi oleh masyarakat Yogya. Apalagi jika pemerintah sudah menyediakan angkutan umum, maka masyarakat tidak lagi bisa berdalih untuk menggunakan kendaraan bermotor ke keraton. Jika masih ada masyarakat yang tetap memilih menggunakan kendaraan bermotor, ruang yang dibutuhkan untuk parkir pasti tidak semasif sekarang – hingga tumpah ke badan-badan jalan.
Alhasil, ruang yang tersedia di kota - lingkungan keraton dalam hal ini - lebih bermanfaat bagi kemaslahatan manusianya bukan kendaraan bermotor.
Namun mengamati kondisi pemkot Yogyakarta dan pemprov DIY saat ini, tampaknya penyediaan angkutan umum yang memadai merupakan sebuah perjalanan panjang berliku bagi warga Yogya. Apalagi untuk penyelenggaraan grebeg yang lebih tertib dan nyaman bagi masyarakat yang ingin menonton.
Walau begitu, masih terselip harapan bahwa penyelenggara grebeg bersedia berbenah. Sehingga acara grebeg yang makin ramai, justru tidak berubah menjadi semakin semrawut dan semakin macet.
Semoga saja acara grebeg yang sudah berlangsung secara turun temurun sejak zaman Hamengku Buwana I, di tahun mendatang dapat jauh lebih terkendali, sehingga lebih terjaga kesakralannya. [Armely Meiviana/Jaladwara]