Ikan yang sedang ‘bekerja’ keras itu ialah Osteochilus vittatus. Nama lokalnya melem. Ikan berukuran kecil yang sungguh nikmat tiada tara jika digoreng kering. Ikan yang turut disebut dalam naskah Ramayana Jawa Kuno.
Saya menikmatinya pertama kali di Purwokerto, Agustus lalu. Tuan rumah tempat kami transit memanjakan lidah dengan sajian istimewa itu. “Melem masih kerabat ikan mas,” begitu terang tuan rumah kami. Tak menyangka di terik siang ini saya bisa menyaksikan dia ‘ngantor’ dengan bahagia.
Pertunjukan si melem yang sedang makan siang itu bagi saya merupakan puncak acara susur sungai dan observasi ikan lokal yang digagas Dhanny Sanjaya. Dhanny merupakan seniman residensi Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat yang banyak mengangkat isu manusia, ikan, dan laut. Sabtu [19/10] ini saya beruntung jadi peserta trip berkat undangan workshop dari Cemeti.
Kini warga harus putar otak agar tetap bisa hidup dari Kali Oyo. Saat jembatan masih ada, banyak orang berkunjung untuk mengabadikan momen. Kuningnya jembatan dengan latar sungai diapit perbukitan serta langit biru sanggup menyihir orang berbondong-bondong datang ke sini. Warga pun membuka warung. Juga menyediakan toilet dan tempat parkir. Sekarang pemandangannya sungguh berbeda. Akan saya ceritakan kemudian.
Mas Susilo Irwanjasmoro dari Wild Water Indonesia menjadi interpreter dalam acara susur sungai ini. Alih-alih melewati jalan kampung, Mas Irwan langsung mengajak kami menyusuri pinggiran sungai begitu kami tiba di lokasi.
Langkah kami dimulai dengan tugas dari Mas Irwan. Beliau meminta kami mengamati keong beserta telur merah jambunya. Jika bertemu maka kami harus mengambilnya. Keong itu mengantarkan ingatan saya pada sawah di Sumba Timur. Ternyata keong dan telurnya itu semacam penyakit bagi sungai. Sama halnya dengan cerita Antonia Djarawula, mantan pemandu Mai la Humba, saat kami melakukan ]uji coba wisata minat khusus pewarna alam di Lambanapu, Sumba Timur. Menurutnya, keong dan telur merahnya merupakan hama bagi sawah.
“Ini jadi salah satu penanda air sungai yang masih bersih,” jelas Mas Bowo. Wah, keren juga ya. Selama ini tak menyadari bahwa kerang itu bisa jadi indikator air bersih. Jadi penasaran apakah di Batanghari yang sekarang sudah terkontaminasi banyak hal masih banyak dijumpai para kepah?
Selain kerang, larva capung dan larva hewan-hewan yang lain juga bisa jadi indikator air bersih. Mas Irwan membawa larva capung yang diamati oleh Sita Sari T, manajer program residensi Cemeti. Capung sendiri bisa jadi penanda area bersih. Kalau larvanya ada di dalam aliran sungai ini bisa dipastikan bahwa air Kali Oyo masih sehat untuk diselami.
Sita menawarkan snorkel pada kami. Saya yang punya pengalaman buruk dengan alat itu memilih menggunakan kacamata renang saja. Sampai saat jalan ke tubuh sungai pun saya masih belum paham sebenarnya apa guna mereka memakai snorkel. Begitu pula dengan kacamata renang. Memang sedalam apa sih yang akan kita salami?
Mas Irwan menjelaskan bahwa dengan snorkel kita akan mengamati ikan dengan leluasa. Tak perlu bolak-balik ambil napas. Puas. Tapi saya tetap tak paham. Hingga akhirnya saya menceburkan seluruh tubuh ke dalam air setinggi lebih kurang 30 cm. Dangkal sekali ya? Iya, kami memang melakukan observasi di tiga kedalaman. Semuanya tak ada yang mencapai 1 meter.
Berbagai pose dilakukan oleh para peserta untuk mengamati ikan. Ada yang langsung tengkurap sambil memasukkan kepala ke dalam air. Ada juga yang merunduk seperti serdadu yang mengamati musuh. Tak ada aturan baku sejauh itu membuat nyaman saat pengamatan.
Pemandangan di dalam air berbeda sekali. Jika di atas permukaan bebatuan sungai terlihat dekat. Namun, saat di dalam rasanya kok agak menjauh ya. Apakah ada efek tertentu yang berpengaruh. Ini seperti pelajaran sendok yang bengkok ketika dimasukkan ke dalam gelas kaca.
Lalu Mas Irwan mengumumkan bahwa ada ikan gobi (Gobiidae) di dekatnya. Beberapa orang peserta termasuk saya langsung mendekati. Mas Irwan menunjuk batu tempat si ikan bersembunyi. Saya hanya mengikuti petunjuk lokasi batu. Di dalam, seperti yang ceritakan di atas, tampak berbeda dengan permukaan. Tapi akhirnya dengan sedikit rasa sabar saya menemukan gobi yang dimaksud. Ya ampun, kecil sekali ukurannya. Pengalaman pertama melihat si gobi ternyata menimbulkan sensasi bahagia. Padahal cuma satu yang dilihat. Meskipun kemudian saya menemukan beberapa gobi lagi sih.
Bosan berada di air dangkal, saya menuju ke “kolam” di bawah jembatan. Mungkin kedalamannya sekitar 1 meter kurang. Tak tahu pasti. Tapi berendam di sini rasanya segar sekali. Segar sekaligus hangat. Pemandangan yang tersaji pun sangat indah. Ragam perbukitan yang mengapit sungai ditambah birunya langit melengkapi kesempurnaan berendam di “kolam” Kali Oyo ini.
Menyelam di kolam sama seperti menyelam di akuarium. Belasan ikan beles (Barbonymus balleroides) dan kepek (Mystacoleucus marginatus) hilir mudik. Kadang mereka melintas di depan muka. Kadang di bawah badan. Sempat pula tangan saya “digigit” oleh seekor dari kawanan itu.
Tak sengaja pula saya melihat seekor ikan hampala atau palung (Hampala macrolepidota). Ada tanda hitam melintang di perutnya. Ia berenang sendiri. Terlepas dari kawanan beles dan kepek. Tampak hanya mengekor dari jauh saja. Hampala jika besar ukurannya bisa sepaha orang dewasa. Termasuk ikan predator, hampala ini ternyata tidak punya gigi. Namun, ia tetap dapat memangsa dengan kekuatan rahang dan ukuran mulut yang lebar.
Dari enam jenis ikan di dalam modul yang dibagikan ke peserta, saya hanya menjumpai lima jenis saja. Ikan tempel watu atau ethel-ethel (Glyptothorax) tidak bisa saya lihat langsung di habitatnya. Saya hanya lihat di dalam ember hasil tangkapan Mas Bowo. Ukurannya terlampau kecil bagi saya. Untuk menemukannya kita harus telaten membalik batu-batu sungai. Tak sanggup lah saya dengan tantangan yang membutuhkan tingkat kesabaran tinggi itu.
“Eh, nanti kita ganti (baju) di mana ya?” tanya saya pada salah seorang panitia. Berendam selama hampir tiga jam, tentu saja begitu naik dari sungai rasanya ingin segera berganti pakaian. Ternyata di dekat lokasi ‘menyelam’ tidak terdapat tempat untuk ganti. Ada masjid namun lokasinya agak jauh. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan ke area parkir di dekat Jembatan Gantung Selopamioro yang sudah putus itu.
Lokasi ini sekarang jadi semacam pusat kuliner, area parkir, dan pintu masuk untuk menyewa pelampung dan perahu arung jeram. Di bawah naungan pepohonan jati, pondok-pondok didirikan untuk memenuhi panggilan makan dan minum para pengunjung.
Kamar mandi tempat ganti pakaian tak seperti yang saya bayangkan. Biasanya kamar mandi atau toilet dibuat dari bahan papan atau bata dengan pondasi menempel tanah. Namun, pihak pengelola memberikan hanya satu pilihan berupa toilet portable.
Sebenarnya saya tak begitu masalah dengan urusan toilet ini. Selama tertutup namun masih ada udara bagi saya masih dapat diterima. Namun, toilet portable dengan ukuran super mini ini sungguh pengap. Tak ada sirkulasi udara di dalamnya. Belum lagi lantai yang menggenang. Mengingatkan pada lantai kamar mandi kelas 2 di Kapal Tidar. Saya terpaksa harus menahan napas selama berganti di dalam. Selamat tinggal mandi kucing. Saya hanya ganti pakaian saja.
Selesai urusan ganti pakaian, sekarang ganti ke persoalan perut. Tak banyak pilihan yang tersaji. Yang saya ingat, warung-warung di situ nyaris menyediakan mi kemasan semacam Popmie. Ada juga sih yang menjual nasi kucing, mi ayam, dan soto.
Agak sayang juga jika harus menyajikan Popmie selamanya. Meskipun itu digemari pengunjung. Tapi terbayang kan berapa banyak sampah kemasan yang dihasilkan? Pengunjung tentu tidak merasa menghasilkan sampah. Tapi warga sekitar yang menetap di situ yang akan menanggung bebannya.
Saya berkhayal andaikan warung-warung itu dapat menyediakan panganan khas daerah situ misalnya. Entah itu kudapan, sayur atau mungkin ikan lokal hasil tangkapan. Mungkin terlalu repot untuk memasak pangan berat seperti itu. Tapi dari sisi keunikan tentunya jauh lebih menonjol ketimbang hanya menjual mi instan. Ah, ini hanya khayalan saya saja tentunya.
Pengalaman yang saya dapatkan, mulai saat sampai di lokasi, berjalan menyisir sungai, serta menyelam mengamati ikan, meninggalkan kesan tersendiri. Ini pengalaman kali pertama berbasah-basah di sungai namun mendapatkan pengetahuan tentang penghuni di dalamnya.
Tak hanya berkaca pada diri saya. Saya pun juga melihat keriaan di wajah para peserta lainnya. Belum pernah saya melihat orang-orang begitu antusias untuk melihat ikan sungai. Sampai harus jongkok, tengkurap, merayap, serta berbasah-basahan.
Bagi saya aktivitas pengamatan ikan lokal ini sangat menarik. Meskipun masuk kategori minat khusus, namun bukan tak mungkin aktivitas ini punya banyak peminat. Bayangkan saja, biasanya ke daerah selatan Jogja untuk berkunjung ke bukit dengan latar pemandangan menawan atau ke hutan pinus. Kali ini datang ke Kali Oyo untuk menyelam dan mengenali jenis-jenis ikan lokal. Sebuah kunjungan yang menggugah namun juga menghibur karena juga menyegarkan.
Sebagai tambahan, jika perlu ada pengantar tentang aspek geologi atau geomorfologi yang membentuk Kali Oyo hingga jadi seperti yang kita lihat di masa sekarang. Karena itu juga akan berkaitan dengan para penghuni di dalam dan di sekitarnya.
Saya juga melihat banyak kemungkinan untuk teachable moment di Kali Oyo. Misal, saat menyusuri tepian sungai, tak sengaja kami menemukan remah-remah berwarna putih. Ternyata, menurut Mas Bowo, yang kami lihat merupakan sisa kotoran berang-berang. Saya jadi tahu kalau berang-berang, si arsitek tangguh itu, biasanya memilih “toilet” tetap untuk mereka. Artinya, mereka akan selalu kemabli lagi ke lokasi tersebut untuk buang hajat.
Memang pekerjaan rumah untuk membuat program wisata minat khusus di sini juga akan sangat panjang. Perlu dipikirkan untuk mengemas tur agar lebih interpretatif, sehingga memberikan nilai lebih selain hanya bersenang-senang di sungai.
Selain itu yang tak kalah pentingnya, perlu diwaspadai dampak utama dari pariwisata itu sendiri, baik itu masalah sampah yang berpotensi mengotori sungai dan mengancam kehidupan di sungai; limbah toilet umum yang bisa jadi dialirkan ke sungai; ditambah kehadiran banyaknya kendaraan bermotor yang parkir akan mengurangi kualitas udara di sekitar serta kenyamanan hidup warga setempat.
Penulis: KWA Wardani
Editor: Armely M