Meski demikian, bagi saya Museum HAM Omah Munir ini keberadaannya baru saya ketahui belakangan ini. Saat itu saya hendak plesir ke Malang. Seperti biasa, saya selalu mencari museum menarik yang bisa masuk daftar kunjungan. Maka jadilah saya mampir ke sini.
Setelah berkeliling hampir satu jam di ruangan kecil museum, emosi saya bergejolak. Saya –masih- marah terhadap kondisi penegakan HAM di negara ini. Juga kesal karena merasa tak dapat berbuat banyak. Saya larut dalam narasi yang disajikan oleh museum.
Lantas, saya tak begitu mempermasalahkan hal-hal teknis seperti tata pamer ataupun label. Wong saya sudah paham pesan yang ingin disampaikan museum. Itu sudah cukup. Namun, bagaimana dengan pengunjung awam yang belum terpapar isu yang diangkat oleh museum? Saya akan ulas beberapa hal teknis yang sempat teramati ketika kunjungan pertama ke Museum HAM Omah Munir pada 21 Januari 2020.
Urusan yang Nampak Remeh Bernama Label
Untuk urusan teknis saya punya beberapa catatan. Mulai dari hal yang paling dasar, yaitu label. Label di Museum HAM Omah Munir masih menggunakan kalimat-kalimat panjang. Sebagian besar dibangun dengan spasi baris yang terlalu rapat. Jika adik saya yang baca pastilah dia sudah mundur teratur karena punya masalah mata silinder.
Terlebih untuk Aceh Corner yang punya banyak informasi namun ditampilkan dalam bentuk paragraf panjang yang lengket satu sama lain. Penempatan panil pun tidak sesuai dengan level mata pengunjung. Pengunjung harus mendongak dan berjongkok untuk membaca informasi mengenai peristiwa-peristiwa penting pelanggaran HAM di Aceh.
Informasi menarik yang merupakan data penting itu harusnya sudah berubah bentuk jadi sesuatu yang lebih mudah dicerna oleh awam. Hal ini penting, mengingat tujuan Museum HAM Omah Munir sebagai media untuk menyebarluaskan pengetahuan HAM di Indonesia.
Semakin sederhana pilihan kata yang digunakan, semakin mudah untuk awam mencernanya. Buatlah label seperti membuat cuitan dengan pakem Twitter. Ini jadi tantangan tersendiri bagi pihak museum untuk membumikan masalah-masalah HAM yang seringkali menggunakan bahasa tinggi.
Begitu juga informasi panjang mengenai Marsinah misalnya. Secara umum, pengunjung lebih menyukai tampilan visual ketimbang teks. Barisan kata-kata dalam panil dapat diselingi dengan bentuk-bentuk ilustrasi, diagram, infografik, atau peta.
Koleksi memorabilia Cak Munir juga belum banyak disampaikan dalam rupa label interpretatif. Sebagian besar masih berupa label noninterpretatif.
Misal saja, skripsi Cak Munir sebagai syarat kelulusan dari Fakultas UB. Alangkah menarik jika disampaikan sedikit kisah di balik skripsi itu. Misal, ringkasan super singkatnya. Yang padat dan penuh makna.
Sifat Cak Munir yang sederhana yang tercermin dari koleksi sepatunya, misalnya. Dapat dibubuhkan label pertanyaan untuk direlasikan ke pengunjung. “Berapa banyak sepatu yang kamu beli dalam dua tahun terakhir?” Atau pertanyaan-pertanyaan yang kembali ke diri pengunjung. Jadi, pengunjung tak menerima doktrin tentang kesederhaaan hidup Cak Munir. Melainkan, diajak untuk merefleksikan pola hidupnya selama ini.
Mengajak Pengunjung Berinteraksi dengan Koleksi Museum
Tak hanya terjadi di Museum HAM Omah Munir jika terkait tingkat interaksi museum dengan pengunjung. Saya pikir museum yang berorientasi pengunjung masih terhitung langka di Indonesia. Sebagian besar masih sibuk dengan ego instansi. Atau sibuk dibuai dengan ide-ide pelibatan “teknologi tinggi” dengan materi yang seringkali tidak kontekstual, bahkan tak punya muatan.
Padahal banyak koleksi museum yang belum ditampilkan kisahnya oleh museum. Sehingga ketika ada keterangan yang disajikan, justru mengundang pertanyaan balik dari pengunjung seperti, “Oke, sudah tahu, setelah itu apa?”
Penggunaan label interpretatif dengan teknik “bertanya” mungkin bisa coba diterapkan. Tentu saja pertanyaan itu bukan pertanyaan yang tak bisa ditemui jawabannya di dalam museum. Pengunjung juga akan malas jika pertanyaan terlampau sulit atau terlalu mudah. Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat reflektif dapat dicantumkan di beberapa panil atau koleksi memorabilia.
Meskipun termasuk teknik yang paling mudah diterapkan untuk melibatkan pengunjung dalam tata pamer, namun penggunaan teknik ini juga tak baik jika terlalu banyak dilontarkan. Secukupnya saja.
Selanjutnya, media Talk Back atau bahasa mudahnya dinding “pesan dan kesan” atau “komentar” dapat digunakan untuk mengumpulkan persepsi pengunjung. Persepsi tentang apa? Tergantung pihak museum ingin menggali persepesi tentang apa dari pengunjung.
Jadi, museum tidak lagi menyodorkan buku kosong yang mengarahkan pengunjung untuk menuliskan pesan dan kesannya. Persepsi pengunjung dikumpulkan dengan mengajukan pertanyaan spesifik. Misal, “Hal apa yang kamu pelajari dari perjuangan Cak Munir?” atau “Bagaimana kamu dapat berpartisipasi dalam perjuangan menegakkan HAM di Indonesia?”
Untuk keperluan ini, pihak museum hanya perlu menyediakan satu dinding kecil untuk pengunjung menempelkan atau menggantungkan jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh pihak museum. Semakin spesifik pertanyaannya maka akan semakin bagus data yang diperoleh. Data ini akan sangat berguna untuk memberi masukan akan konten di museum baru yang akan dibangun nanti.
Dinding yang menampilkan wajah para aktivis yang hilang jelang reformasi memang sudah sangat kuat menyentuh aspek emosional. Namun, jika bisa bermain-main dengan teknik flip panels sepertinya menarik juga.
Dari deretan wajah para aktivis yang dimuralkan, mungkin bagi awam hanya wajah Wiji Thukul yang populer. Bagaimana dengan figur lainnya. Pihak museum dapat membuat instalasi sederhana berupa flip panels. Jika ingin dibarengi label pertanyaan, bisa terkait dengan misalnya isu yang diperjuangkan para aktivis itu atau latar belakang mereka.
Lantas bagaimana dengan media interaktif lainnya? Mungkin untuk sementara label dengan teknik pertanyaan yang paling mungkin untuk diterapkan. Sementara media-media audio visual lainnya lebih memungkinkan untuk dipasang di museum baru yang gedungnya sedang dalam proses pembangunan . Tentu saja jika media audio visual itu hadir harus dilengkapi dengan “instruksi” yang jelas. Misal, “Tekan untuk mendengarkan testimoni para aktivis”. Lagi-lagi pola komunikasi ini perlu dibangun untuk menginformasikan pengunjung apa yang akan mereka dengar atau lihat. Juga berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menonton satu video atau rekaman suara.
Mungkin karena Museum HAM Omah Munir punya keterbatasan ruang pamer maka alur cerita museum tidak terlalu terlihat. Biasanya alur ini muncul dalam denah museum. Pengunjung jadi punya gambaran ketika masuk museum, apakah akan mengeksplorasi semua tema atau hanya beberapa tema saja.
Jika masih memungkinkan alur cerita Museum HAM Omah Munir bisa ditampilkan ke pengunjung di bagian awal. Tak perlu desain yang mewah. Cukup denah sederhana berdasarkan koleksi yang dipamerkan saat ini. Misal, tema tentang “Biografi Munir”, “Perjalanan Karir Munir”, “Kasus-kasus yang Ditangani Munir”, “Memorabilia Munir”, dan lain sebagainya.
Alur yang jelas membantu pengunjung menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh museum. Denah yang menampilkan tema-tema dalam ruang koleksi ini memandu agar pesan itu dapat diterima oleh pengunjung.
Saya menceritakan kunjungan ke Museum HAM Omah Munir ke seorang turis asal Turki yang menginap di tempat yang sama dengan saya. Mendengar latar seorang Munir, ia pun tertarik untuk berkunjung ke sana.
Namun, sebelum membuat rute perjalanan ia memastikan mengenai bahasa yang digunakan oleh museum. “Jika itu hanya dalam bahasa Indonesia maka percuma saya ke sana. Saya tak akan mengerti apapun,” komentarnya.
Untuk saat ini memang masih ada keterbatasan dalam bahasa yang ditampilkan dalam label. Namun, untuk sementara pihak museum masih bisa menyiasatinya dengan menyediakan pemandu. Tentu saja informasi tersebut harus disebarluaskan agar turis-turis asing yang transit di Malang bisa turut terpapar informasi mengenai perjuangan HAM di Indonesia khususnya yang dilakukan oleh Cak Munir.
Museum HAM Omah Munir mungkin jadi satu-satunya museum di Indonesia yang mengangkat isu HAM. Kehadiran museum ini menjadi oase di tengah-tengah himpitan narasi arus utama dari negara yang kian menjadi-jadi.
Pelanggaran HAM yang terjadi di banyak tempat setiap hari seakan jadi tontonan yang wajar bagi orang-orang di negara ini. Sudah biasa pemandangan penggusuran tanah atas nama pembangunan. Hal-hal yang sudah dianggap biasa itu menjadikan penggusuran, “penghilangan” –nyawa- manusia, penculikan, persekusi, atau penindasan terhadap manusia adalah hal lumrah. Sebagian besar dari kita mungkin berpikir tidak ada yang salah dengan peristiwa itu. Yang terpenting perut masih bisa terisi dan kepentingan pribadi tidak terganggu.
Kembali lagi ke tujuan awal Museum HAM Omah Munir didirikan. Tampilan yang menyenangkan bukan jadi satu-satunya kriteria untuk museum yang berhasil. Terlebih jika museum mengusung misi edukasi. Yang paling utama ialah pengunjung mampu memahami apa yang disajikan dan menangkap konteks dari seluruh materi pameran.