Di ruangan berukuran kecil ini dipajang beberapa memorabilia tentang Munir seperti meja, sepatu, baju-baju, rompi anti peluru, tanda identitas (termasuk paspor dan visa), serta skripsi saat menuntaskan kuliah hukum di Universitas Brawijaya.
Tanpa mengikuti alur pengunjung, saya membaca satu per satu informasi yang ditampilkan dalam panil-panil. Beberapa korban pelanggaran HAM yang didampingi Cak Munir ditampilkan di sini. Tentu saja dengan beberapa bentuk penyajian.
Sementara itu kasus pelanggaran HAM di Aceh dikupas cukup mendalam. Meskipun juga disinggung kasus-kasus pelanggaran di beberapa tempat yang lain seperti Timor Leste dan kasus petani di Nipah.
Ada yang menusuk saat melihat lini masa proses “penghilangan” nyawa Munir di udara. Lini masa itu ditampilkan lewat poster dan media video garapan TEMPO. Dua-duanya memberikan efek yang sama bagi saya. Jujur saja saya harus menahan agar tak ada setetes air mata pun yang jatuh saat memahami alur waktunya.
“Gila ya, informasi ini sudah pernah saya baca berulang kali, tetap saja sulit untuk kontrol emosi,” batin saya. Begitulah, saya selalu merasa tak berarti jika melihat perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh teman-teman aktivis HAM ini.
Meskipun ada beberapa hal yang dapat direduksi agar tak disajikan berulang seperti perjalanan awal karir Munir di bidang hukum. Atau bisa jadi pihak museum ingin memberikan penekanan terhadap hal tersebut.
Namun begitu, saya dapat menikmati sajian museum karena sudah punya ketertarikan dengan isu yang diangkat. Saya sangat beruntung karena sudah terpapar isu HAM ini beberapa tahun yang lalu. Jadi, tak ada muncul rasa keberatan untuk melahap barisan kata-kata yang dipajang di dinding dalam panil-panil besar dan kecil itu.
Apakah kategori pengunjung awam tersebut bisa mendapatkan semangat “menolak lupa” atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara? Apakah Omah Munir dapat memberikan pengalaman yang membenturkan nurani tiap pengunjung terhadap kondisi HAM di Indonesia saat ini? Atau bahkan, apakah museum berhasil menularkan spirit Munir dan para pejuang HAM dalam memperjuangkan ketidakadilan.
Hal tersebut sangat mungkin jadi bahan pengamatan pengelola museum terhadap respon tiap pengunjung yang datang, untuk tahu sejauh mana dampak museum Omah Munir.
Selanjutnya:
Berkunjung ke Museum Ham Pertama di Indonesia (Bag. 2)