Semakin dekat ke daratan maka Candi Kedaton pun semakin terlihat oleh saya. Masih terasa aura kesakralan tempat ini, sama seperti ketika empat tahun yang lalu berkunjung ke sini. Candi Kedaton seperti memiliki kekuatan tersendiri yang mampu menenangkan jiwa, segundah apapun itu.
Kini pohon-pohon yang menaungi gundukan-gundukan tanah di sekitar candi induk Kedaton sudah banyak ditebang. Begitu juga semak belukar yang sudah mulai dibersihkan. Hal itu membuat Candi Kedaton lebih “terlihat”, lebih terang daripada sebelumnya.
Susunan bata-bata pun mulai ditampakkan melalui kegiatan ekskavasi. Kadang singkapan itu membentuk semacam pagar. Kadang pula memunculkan gapura. Tak jarang yang berupa pondasi dari sebuah bangunan.
Gapura cantik di sisi utara Candi Kedaton yang dilengkapi dengan dua makara di sisi dalam dan satu makara di sisi utara sudah rampung direkonstruksi. Sementara itu penelitian terakhir [06/2013] yang dilakukan oleh teman-teman UI menghasilkan sebuah temuan sumur di sisi timur laut dari Candi Kedaton. Selama ini tinggalan berupa fitur air hanya didapatkan dalam bentuk kolam dan kanal. Maka penemuan tersebut sangat berarti untuk membantu merekonstruksi kehidupan di dalam komplek percandian Muarajambi.
Memang belum begitu banyak kisah yang bisa diungkap mengenai Candi Kedaton untuk saat ini. Temuan isian batu candi berupa batu berakal berjenis kuarsa yang diletakkan di sisi barat candi pun masih menanti sebuah reka ulang yang didukung dengan data yang kuat. Begitu pula kehadiran periuk belanga berbahan tembaga di candi ini. Apakah untuk kepentingan ritual atau keperluan lain masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Bersama riuh rendah suara tonggeret saya melemparkan imajinasi ke masa ratusan tahun yang lalu. Mungkin saja I Tsing pernah berkunjung ke candi ini. Naik perahu melalui Sungai Jambi dan menjejakkan kaki di keagungan Kedaton. Boleh jadi dia tak pakai perahu melainkan berjalan kaki dari Candi Gedong I atau Candi Kotomahligai. Kemudian melewati gapura tinggi nan memesona.
Atau biksu Atisha, bisa jadi pernah mampir kemari untuk melantunkan puja dan puji di candi ini. Seperti dikatakan oleh George Coedes (*) bahwa seorang biksu dari Tibet bernama Atisha pernah berguru kepada Dharmakrti yang merupakan pendeta tertinggi di Swarnadwipa (1011-1023).
Masih banyak keping sejarah yang harus ditemukan untuk mengungkap kisah di Candi Kedaton. Semoga masih banyak pula waktu yang tersisa untuk mengupas lembar demi lembar kisah di tengah salah satu pusat keramaian Kerajaan Sriwijaya ini. [KWA Wardani/Jaladwara]