Kebetulan sekali saya sedang berlibur di Kota Jambi. Maka Museum Siginjai masuk dalam daftar teratas tempat-tempat yang harus saya kunjungi.
Museum yang diresmikan pada 1988 ini awalnya bernama Museum Negeri Jambi. Barulah pada 2012 berganti nama menjadi Museum Siginjai untuk lebih mendekatkan pada ingatan kolektif masyarakat lokal. Siginjai diambil dari nama keris seorang raja Jambi, Orang Kayo Hitam. Saya ingat betul sering menyanyikan lagu yang memuat nama keris itu saat duduk di bangku SMP dulu.
Hampir seperti kebanyakan museum-museum daerah yang pernah saya kunjungi, situasi di Museum Siginjai sore itu tampak lengang. Hanya ada seorang petugas tiket di meja resepsionis sedang menonton televisi. Sementara itu papan informasi mengenai status buka/tutup museum berada dalam posisi TUTUP. Oleh karena itu awalnya saya sempat ragu untuk masuk ke dalam. Ternyata itu kelalaian petugas. Museum masih buka. Setelah membayar tiket sebesar Rp 1.500 maka saya pun mulai mengeksplorasi ruangan demi ruangan.
Ruang Khasanah Budaya Jambi menjadi titik pertama. Saya harus melepas alas kaki sebelum memasuki ruangan ini. Alangkah terkejutnya saya ketika menemukan dua “koleksi” temporer museum yang sedang tertidur lelap. Mereka adalah pegawai Museum Siginjai. Mungkin ruangan yang memiliki pendingin dan beralaskan karpet ini merupakan tempat yang sangat cocok untuk siesta. Sedih sekali melihatnya mengingat koleksi-koleksi yang disimpan di dalam ruangan ini bernilai sangat tinggi.
Ada pula naskah yang menggunakan aksara Incung –aksara lokal Kabupaten Kerinci- yang digoreskan pada tanduk kerbau. Naskah dengan bahasa kuna Kerinci tersebut diperkirakan berusia sekitar tiga abad lebih. Isinya tentang tata cara memanggil roh para leluhur, petuah-petuah, dan syarat-syarat menjadi pemimpin. Sementara naskah yang digoreskan pada media bambu berisikan mantra-mantra untuk pengobatan.
Banyak juga koleksi berupa perhiasan yang dikenakan oleh kaum perempuan Jambi tempo dulu. Salah satu yang menarik ialah tiga koin bergambar ratu Wilhelmina (?) dengan angka tahun 1898. Ketiga koin itu disatukan dengan tiga rantai emas. Menurut keterangan, koleksi itu digunakan sebagai peniti baju kaum perempuan.
Koleksi gelang tangan yang dulu dipakai oleh perempuan di Kabupaten Sarolangun dan Merangin saat upacara adat mencerminkan pandangan hidup perempuan yang kuat untuk melindungi keluarganya. Gelang tersebut berlapis emas dengan motif kepala ular yang diberi permata merah dan putih.
Sisi maskulin diwakili oleh koleksi peralatan perang seperti tameng tembaga, keris, tombak, senjata laras panjang dan pistol. Sayangnya keris siginjai tidak dipamerkan di sini melainkan menjadi koleksi Museum Nasional.
Selain peralatan perang, koleksi yang mencerminkan “perjuangan” laki-laki Jambi –khususnya Kerinci- bisa dilihat pada koleksi cincin anggel. Cincin tersebut terdiri dari puluhan bahkan ratusan cincin tembaga yang harus dikumpulkan oleh seorang laki-laki untuk melamar seorang gadis Kerinci. Mungkin usaha untuk mengumpulkan cincin-cincin itu berlaku jika hendak melamar gadis dengan strata sosial yang tinggi. Seorang teman yang kebetulan berdarah Kerinci dengan spontan berujar, “Wah, cerita ini harus kuberi tahu pada suamiku. Biar dia tahu betapa susahnya untuk mendapatkan gadis Kerinci.”
Selanjutnya saya beranjak ke ruangan di lantai dua yang menggambarkan kehidupan pertanian dan perikanan masyarakat Jambi. Berbagai alat pertanian dan perikanan dipajang. Menarik juga memerhatikan bentuk alat dan nama yang melekat padanya. Jadi saya tak hanya kenal kata cangkul. Tapi ada juga kata pangko yang memiliki arti yang sama.
Begitu pula di bidang perikanan. Beda jenis perairannya beda pula alat yang digunakan untuk menangkap ikan. Ada serkap yang digunakan untuk menangkap ikan di air dangkal. Untuk menangkap ikan di pinggir sungai dan rawa-rawa maka digunakanlah tembilar. Lalu jika menangkap ikan di sungai maka saruwo yang akan digunakan.
Beberapa koleksi alat permainan melemparkan saya ke ingatan masa kecil. Ada gasing yang terbuat dari kayu. Saat kecil saya dan teman-teman membuatnya dari buah kelapa gagal yang berukuran sangat kecil. Di bagian ujungnya –bidang yang lancip- akan diberi paku. Lalu ada juga patok lele, celetoran, dan catur.
Sepertinya koleksi-koleksi itu saja yang menarik perhatian saya di lantai dua ini. Jika ada yang tertarik dengan adat orang rimba, pakaian adat, replika tempat pelaminan, ruang tidur, berbagai macam penutup kepala perempuan, serta seputar dunia pertenunan maka bisa juga berlama-lama di lantai dua.
Kembali lagi ke lantai satu, masih ada koleksi keramik yang menunjukkan hubungan perdagangan daerah Jambi dengan wilayah luar tempo dulu. Sementara itu koleksi perahu kajang lako (?), replika arca bhairava, replika lumbung padi, dan dua padmasana [lapik arca] terlihat tidak tertata dengan bagian di luar ruangan.
Namun tak mengapa, kembali pada pandangan awal saya tentang museum. Kunjungan ini cukup membantu untuk mengulik lebih dalam hal-hal yang menjadi perhatian saya. Jadi, jangan lewatkan untuk berkunjung ke museum setiap singgah di daerah baru. Petik informasi awal di sana. [KWA Wardani/Jaladwara]