Sebelumnya kami sempat memasang aplikasi iDiscover Sanur sebagai bekal jalan-jalan. Seorang teman sempat memberi tahu perihal Peta Hijau Sepeda Sanur. Namun, setelah kami memasang aplikasi, ternyata kedua peta tersebut masih punya irisan yang sama. Jadi, kami putuskan untuk pakai aplikasi saja.
Tentu saja kami tak mengikuti penuh rute yang ditawarkan. Kami hanya mengunjungi beberapa tempat yang masih satu jalur. Juga tempat-tempat yang memang sesuai dengan minat kami.
Saat ini aplikasi iDiscover Sanur sedang dalam proses perbaikan. Mungkin mereka sedang membenahi bug yang memang mengganggu. Mencoba aplikasi ini pertama kali di Bali bukan perkara mudah. Ketika aplikasi diaktifkan, hanya mampu menjalankan beberapa fitur saja. Setelah itu macet.
Namun, jangan khawatir. Sembari menunggu pihak iDiscover membenahi petanya, peta digital Sanur masih bisa diakses dan diunduh di laman mereka. Berikut kisah singkat kami selama menjelajahi Sanur dengan aplikasi iDiscover.
Petualangan dimulai dengan sarapan di Men Weti. Saat tiba di pagi pukul 07.30 antrean tampak mengular. Sempat putus asa juga karena lapar dan mungkin tak akan sanggup mengantre sepanjang ini. Setelah celingukan beberapa saat akhirnya kami tahu bahwa antrean panjang itu berlaku bagi pelanggan yang pesanannya dibawa pulang. Sementara yang memilih makan di tempat bisa langsung memilih dan mendapatkan makanannya.
Seporsi nasi Men Weti tiba di tangan. Isinya ramai. Ada daging ayam suwir bumbu kuning, ikan suwir, telur balado, tumis kacang panjang, pare, dan pucuk ubi, sambal kentang, kacang goreng, tempe bumbu kuning, sambal matah, sate lilit, dan kulit ayam goreng. Sepintas tampak seperti nasi rames biasa. Namun ketika suapan pertama berkelindan di dalam mulut, seluruh indra pengecap bagai melompat-lompat merayakan pesta rempah. Rasanya kaya dan kulit ayam gorengnya juara!
Kali ini kami tak menyesali bertandang ke tempat makan yang populer di kalangan turis. Kenikmatan di sepiring nasi Men Weti ini cukup untuk tenaga mengeksplorasi Sanur hingga siang.
Rumah berarsitektur Bali itu tampak sepi dan tenang. Kontras dengan ingar bingar suara wisatawan bercampur deru ombak di luarnya. Rumah yang dulu jadi hunian pelukis Le Mayeur itu, kini diifungsikan sebagai museum. Di dalamnya tersimpan puluhan karya lukis dan beberapa perabotan yang pernah digunakan semasa Le Mayeur hidup.
Le Mayeur, mungkin tak setenar juga sekaya Antonio Blanco. Sejarawan Adrian Vicker dalam Bali: A Paradise Created, menyebut bahwa Le Mayeur ini termasuk seniman yang paling sederhana dibandingkan para ekspatriat lainnya. Namun, Le Mayeur pula yang jadi pemantik dan inspirasi bagi seniman-seniman awal negeri Singapura, semisal Chen Chong Swee.
Di dalam museum yang terasa lembab ini, puluhan karya lukisan Le Mayeur digantung di tembok. Karya-karya Le Mayeur sungguh memesona. Latar pelabuhan menjadi yang dominan dalam lukisan Le Mayeur sebelum ia menetap di Bali pada 1932. Mungkin Le Mayeur, yang berasal dari Belgia, banyak mendapatkan ilham dari persinggahannya ke banyak tempat dengan menggunakan kapal. Sementara itu, kehidupan para perempuan di Bali dan juga suasana pantai mewarnai lukisannya begitu ia tinggal di Pulau Dewata ini.
Le Mayeur menggunakan beragam media untuk lukisannya. Ada yang berbahan kertas, hard board, triplek, kanvas, dan bagor (goni). Kami yang baru kali pertama melihat lukisan berbahan bagor tentu saja spontan terperangah. Keren sekali. Mungkin Le Mayeur juga mempertimbangkan kondisi perekonomian saat memutuskan jenis media lukis. Media berbahan bagor kebanyakan berasal dari tahun 1942-an, yaitu masa-masa sulit di tanah Hindia Belanda.
Masuk ke rumah Le Mayeur ibarat menyelami gudang berisi harta karun nan melimpah. Perasaan yang muncul sama seperti ketika Aladdin memasuki Cave of Wonders. Hanya sayangnya kondisi harta karun itu memprihatikan. Beberapa lukisan catnya mulai retak dan terkelupas. Beberapa lagi warnanya mulai pudar. Belum lagi tingkat kelembaban yang tinggi. Entah berapa lama lagi lukisan-lukisan peninggalan Le Mayeur itu bisa bertahan.
Informasi yang dicantumkan di tiap lukisan juga masih sebatas label noninterpretatif. Belum ada yang memberikan kisah pada lukisan-lukisan karya Le Mayeur. Cerita di sini minim sekali. Belum lagi pemandu yang entah ada atau tidak.
Meskipun kondisi museumnya jauh di bawah standar. Namun, Museum Le Mayeur tetap jadi tempat yang patut dikunjungi. Koleksi lukisan yang mengagumkan, arsitektur rumah yang disertai tembok penuh pahatan beberapa cuplikan dari kisah Ramayana, ditambah lokasi museum yang sangat strategis rasanya cukup menjadi alasan kuat untuk singgah ke sini.
Mata kami tertumbuk pada sebuah pilar yang berdiri di bawah permukaan tanah. Dilindungi kaca, pilar itu memuat inskripsi yang tentu saja tak bisa kami baca. Merujuk pada papan nama sebelum masuk ke area ini, pilar itu adalah Prasasti Blanjong.
Tak ada papan informasi tentang Prasasti Blanjong. Juga tentang area ini secara keseluruhan. Berdasarkan hasil berselancar di internet, Prasasti Blanjong ini sebagian menggunakan aksara Bali Kuna dengan campuran bahasa Sanskrta dan Bali Kuna. Sisanya ditulis dengan aksara Nagari Awal, bahasa Bali Kuna. Wow, beragam sekali ya.
Prasasti ini menceritakan tentang kemenangan Raja Sri Kesari Varmmadeva atas musuhnya di Gurun dan Suwal. Menurut W.F. Stutterheim, arkeolog Belanda, prasasti ini berasal dari 917 M. Ia menyimpulkan bahwa kawasan Blanjong dulunya adalah pelabuhan tempat kapal-kapal India berlabuh.
Sementara itu, menurut arkeolog Indonesia, I Wayan Ardika, Blanjong bisa jadi merupakan situs multikomponen. Artinya, ada lebih dari satu fungsi yang pernah dijalankan di situs ini. Selain sebagai pelabuhan, Blanjong juga berfungsi sebagai tempat suci, pekuburan, dan permukiman yang aktif mulai dari abad 9-13 M.
Sebuah tinggalan yang dapat menceritakan kisah awal sejarah di Pulau Bali ini terkesan terabaikan. Buku tamu yang ditinggalkan di situs mayoritas diisi oleh turis asing. Mereka kagum sekaligus miris dengan pengelolaan situs yang minim. Bagaimana dengan turis Indonesia? Tak banyak yang menorehkan namanya di dalam buku tamu itu. Bisa jadi tak banyak turis lokal yang tahu tentang tempat ini.
Kami menjatuhkan pilihan makan siang di tempat arus utama berkumpul saat di Sanur. Mana lagi kalau bukan di Mak Beng. Restoran dengan ruang tak seberapa ini selalu ramai pengunjung. Apalagi saat makan siang.
Pilihan menu di sini hanya ikan goreng dan sup ikan. Itupun disajikan dalam satu paket. Sangat terbatas bukan? Tapi menurut kami justru warung-warung yang menyajikan menu spesifik seperti ini dapat dipercaya. Warung itu pasti ahli atau spesialis terhadap masakan tertentu. Soal rasa harusnya tidak diragukan lagi. Bayangkan saja puluhan tahun memasak makanan yang sama. Lalu pengunjung warung terus ada bahkan menumbuhkan loyalis-loyalis baru tiap harinya. Apalagi kalau bukan rasanya yang konsisten dan tampil percaya diri?
Dan memang benar. Sup ikan di sini kaya rasa. Meskipun kuahnya tidak kental, namun pertemuan rempah-rempah di dalamnya terasa seimbang. Minum kuah sup di sini seperti mereguk kesegaran di tengah teriknya Pantai Sanur.
Di dalam peta aplikasi iDiscover Sanur, Pura Segara disebut sebagai pura pertama yang dibuat oleh orang lokal untuk memuja laut. Tidak banyak informasi yang tersedia tentang pura ini. Dan tak ada orang yang bisa kami jadikan narasumber saat berkunjung.
Dari sisi arsitektur, pura memang tampak berbeda dengan pura-pura yang jamak dijumpai di Bali. Material penyusun didominasi oleh terumbu karang (yang telah mati) dan batu gamping. Sementara itu figur hewan banyak menjadi pengisi pura. Ada ikan (berbagai jenis), naga, dan lembu.
Sebelum memasang aplikasi iDiscover Sanur, seorang teman sudah memberi tahu tentang Rumah Sanur. Maka, kami pun meluncur ke sana. Jadi, di sini kamu bisa temukan kedai kopi, tempat ngebir, toko yang menjual karya artisan lokal, dan coworking space.
Rumah Sanur merupakan tempat yang asyik dikunjungi. Kami bisa berlama-lama di sini. Sekedar melepas lelah atau mengisi daya gawai yang sekarat. Kami juga bisa mengamati aktivitas orang-orang yang mampir ke sini. Juga melihat-lihat peta serupa dengan yang ada di aplikasi iDiscover dalam versi lengkap.
Tempat ini merupakan creative hub yang sudah memikirkan akses untuk difabel. Terdapat akses untuk kursi roda. Tak hanya itu, di sini juga tersedia ‘stasiun’ untuk menyetor sampah tetrapack.
Jadi, tempat ini patut disambangi. Tidak perlu untuk satu tujuan tertentu. Bahkan hanya untuk bengong saja juga nikmat dilakukan di sini. Siapa tahu ada ide menarik yang muncul untuk menu perjalanan selanjutnya.
Kami sempat mampir ke bagian dalam Pasar Sindhu jelang siang. Tak banyak yang bisa dilihat. Mungkin pasar ini beroperasi di pagi hari.
Namun, saat berkunjung malam harinya, halaman depan pasar tampak semarak. Para pedagang makanan dan minuman menggelar lapak. Para turis (termasuk asing) tampak berkeliling mencari panganan yang cocok disantap malam ini. Harga di sini tentu jauh lebih bersahabat ketimbang deretan resto di tepi Pantai Sanur. Suasana yang didapatkan pun lebih otentik. Warga lokal dan turis berbaur memenuhi hasrat memuaskan lidah.
Satu yang jadi favorit ketika berkunjung ke sini. Ada smoothies buah dengan harga terjangkau. Jangan lupa untuk pesan dengan gelas kaca dan tanpa sedotan. Capek akibat mengayuh pedal dapat segera terobati dengan smoothies segar tersebut.
Demikianlah sehari menjelajahi Sanur dengan sepeda dibantu dengan aplikasi iDiscover. Perjalanan jadi tak biasa karena banyak hal di luar arus utama yang ditemui. Bagaimana, kamu minat untuk mencobanya?
Rareangon, Jl. Danau Tamblingan No. 17, Sanur, Denpasar, Bali
WA : 081237540095
No. HP: 085102763080