Memang terlihat sepele, “Malioboro”, kawasan yang bagi orang Jogja maupun turis sudah tak asing lagi. Kawasan yang wajib masuk dalam kunjungan-kunjungan ke Jogja itu menyuguhkan cinderamata yang ketika dibeli di sana akan menyempurnakan perjalanan turis.
Bagi orang Jogja sendiri, Malioboro kini mungkin hanya sebagai tempat para turis dan pedagang tawar menawar untuk membawa pulang tanda mata dari Jogja. Beberapa teman asli Jogja atau sudah lama menetap di Jogja mengaku malas kalau harus melewati ruas jalan ini. Unsur keterpaksaan lebih dominan ketika mereka melintas di sini. Kawasan ini dikenal padat kendaraan bermotor, terutama jika hari libur. Selain itu jalur untuk pejalan kaki tidaklah seramah slogan yang ditawarkan pemerintah. Tetap saja fasilitas yang seharusnya untuk pejalan kaki diberikan kepada kendaraan bermotor.
Padahal Malioboro itu kawasan “tua” nan bersejarah lho. Sebagian muka bangunan memang terkontaminasi dengan papan nama atau iklan-iklan. Namun, jika rajin mendongak sedikit ke atas, bentuk atap rumah-rumah di Malioboro tak dapat menyembunyikan kesan tua kawasan ini.
Oleh sebab itu kami membuat trip berbau pencarian seperti terungkap pada judul acara. Agar lebih efektif, sekaligus mengenalkan salah satu ciri khas kami, maka peserta dibatasi 15 orang saja. Apakah itu dirasa terlalu sedikit untuk menyebarluaskan aura positif mengenali kota? Iya, maka kami membuka dua kloter untuk sesi pagi dan sore.
Kloter pagi ditemani dengan cuaca cerah cenderung panas. Ada 11 orang yang berpartisipasi di sini. Mereka kami bagi ke dalam dua kelompok. Kami sedari awal berusaha membuat acara ini bebas dari unsur doktrinasi. Bukankah kita sudah terlalu sering mendapatkan sejarah dalam bentuk doktrin yang selalu “dicekokan” kepada kita selama belasan tahun?
Maka kami memosisikan diri sebagai fasilitator bagi teman-teman untuk mengenal Malioboro. Kami hanya menyediakan seperangkat peralatan untuk mereka mengalami sendiri petualangan menembus masa puluhan bahkan ratusan tahun silam. Kami juga memberikan celah-celah agar mereka bisa berinteraksi dengan warga lokal. Menggali sendiri pengetahuan dari warga tempatan menurut perspektif lokal.
Kloter sore harus ditemani dengan rinai hujan. Diikuti delapan orang peserta yang mewarisi darah srimulat, kami menjelajahi Malioboro dengan canda tawa. Meski hujan teman-teman tetap bersemangat mencari “harta karun” tersembunyi dan mengoptimalkan indera penglihatan untuk mengamati detail bangunan. Seperti sesi pagi, banyak cerita yang kami dapatkan hari ini. Sebuah kenyataan bahwa tak semua orang Jogja mengenali Jogja hingga cerita-cerita tentang “kengerian” satu masa dalam lintasan sejarah bangsa ini pun terkuak.
Dan kami memang membawa beban capek luar biasa karena harus berjalan kaki yang terkadang diwarnai dengan “nyasar-nyasar” :). Namun, selepas acara ini semoga ada inisiatif-inisiatif lanjutan untuk mengenali kota sendiri. [KWA. Wardani/Jaladwara]
Salam Buka Mata Kenali Nusantara
(*) Trip Mencari Harta Karun di Malioboro kini menjadi salah satu produk Jogja Plesir yang menjadi bagian Jaladwara untuk wilayah Jogja. Jika Anda berminat untuk mengikuti trip ini silakan menghubungi kami minimal seminggu sebelumnya. Kami menyarankan untuk melakukan penjelajahan berkelompok, minimal 2 orang dan maksimal 15 orang.