Saya menekan bel yang ada di pinggir kusen pintu besar itu dua kali. Pintu terbuka. Seorang laki-laki keluar menghampiri kami. Beliau adalah “juru kunci” rumah kalang milik Rudy Pesik di Gang Soka, Kotagede. Mungkin ini hari keberuntungan kami karena secara tidak sengaja bisa berkesempatan melihat sebagian kecil interior rumah yang selalu bikin penasaran rerata pejalan yang berkunjung ke Kotagede.
Misterius, dingin, sekaligus anggun, begitu citra yang lekat dengan rumah Rudy Pesik selama ini. Cerita yang beredar dari mulut ke mulut selalu menyebut terdapat patung-patung besar di dalam rumah. Isi rumah dipadati oleh benda-benda kuna! Tak jarang yang menyisipkan cerita mistik di dalamnya. Saya membayangkan masuk ke rumah besar minim cahaya yang di dalamnya saya sulit untuk berjalan dan bernapas karena terhimpit barang-barang besar penuh debu.
Namun begitu saya lebih terpikat mengamati detail bangunan induk. Ciri-ciri rumah kalang dengan mudah dijumpai pada deretan usuk yang penuh ornamen. Pada bagian atap menyembul jendela dormer yang cantik. Sementara talang airnya pun dilengkapi dengan hiasan bermotif floral. Aneka motif pada tegel juga tak kalah memesona. Tapi terasa ada yang janggal. Benarkah bentuk yang saya lihat pagi itu merupakan kondisi aslinya? Pertanyaan yang spontan muncul mengingat rumah ini mengalami beberapa kali pergantian kepemilikan serta pernah mengalami kerusakan karena gempa pada 2006.
Selain rumah kalang tersebut, Pak Rudy juga membeli beberapa rumah yang lokasinya saling berdekatan. Total ada delapan rumah. Kalau diibaratkan total luas kompleks rumah ini sama dengan dua kali lapangan sepak bola.
Menurut Bapak juru kunci, hanya rumah kalang yang bangunannya dipertahankan. Sisanya, sudah berganti rupa dengan bangunan besar dan megah. Dari tempat kami berada bahkan terlihat salah satu bangunan megah yang bergaya “Da Vinci”.
Keindahan rumah kalang sudah sangat tersamar karena pendopo di bagian depan rumah sekelilingnya telah tertutup oleh gebyok koleksi penuh ukiran yang disandarkan di tiap kolomnya. Begitu juga pada tiap daun pintu dan jendela, dipasang ukiran-ukiran kayu yang menenggelamkan auranya sebagai rumah kalang.
Seperti kita ketahui, saat ini eksteriornya dilengkapi dengan pilar-pilar, kaca patri hijau dan relung-relung berisi arca. Biasanya para pejalan hanya bisa mengabadikan momen perjalanan di depan rumah sambil menyimpulkan bahwa pilar, dinding kaca dan arca tersebut sudah ada sejak dulu. Sosok bangunan yang dingin dengan pintu yang selalu tertutup rapat menjadi sinyal bahwa orang luar tak diijinkan masuk ke dalam untuk sekedar melihat-lihat.
Selepas dari rumah kalang Rudy Pesik, kami mampir sebentar ke Dalem Natan. Kami disambut oleh seorang pegawai yang ternyata tinggal tak jauh dari rumah Rudy Pesik. Hitungannya masih tetangga, begitu saya mengajaknya bercanda. Iseng saya bertanya pendapatnya tentang kedua rumah kalang tersebut. “Kalau Mas lebih suka yang mana, rumah “tetangga” atau Dalem Natan ini?” tanya saya. Setelah bercerita ngalor ngidul akhirnya secara diplomatis dia menjawab lebih menyukai rumah tempatnya bekerja sekarang. Bisa jadi karena sekarang dia terikat kerja di tempat ini, namun mungkin saja karena sebagai warga lokal dia tak dapat melihat bagian dalam rumah Rudy Pesik, rumah tetangga sendiri.
Sulit untuk dipungkiri, Dalem Natan yang baru saja rampung mengalami pemugaran ini tampak lebih otentik arsitekturnya sebagai rumah kalang. Pemiliknya yang juga bukan warga lokal Kotagede ini memilih untuk mengubah fungsinya sebagai “heritage hotel” –istilah saya sendiri-. Namun yang terpenting beliau juga memberikan akses kepada publik untuk bisa mampir sekedar melihat-lihat dan mengagumi kemolekan arsitekturnya. Hal itu membuat atmosfer di Dalem Natan lebih bersahabat, lebih hangat.
Setelah pengalaman mengintip halaman dalam rumah kalang Rudy Pesik hari ini rasanya saya sudah tak lagi menyimpan rasa penasaran. Saya sudah cukup puas menikmati keindahan arsitektur dari rumah-rumah kalang atau tradisional Jawa lainnya yang masih tersisa di Kotagede.