“Situs Gunung Padang Dirusak”, begitu judul artikel di website National Geographic Indonesia/NGI (04/01/2013). Sebenarnya hal ini sudah masuk dalam prediksi saya sejak Gunung Padang mencuat menjadi isu nasional pada 2012. Tinggalan megalitik (*) yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur ini memang luar biasa. Ali Akbar, dosen Arkeologi Universitas Indonesia, berpendapat bahwa Gunung Padang berpotensi menjadi bangunan prasejarah terbesar di dunia. Sejauh ini belum ditemukan peninggalan dari masa prasejarah dengan struktur pundek berundak sebesar Gunung Padang.
Saya teringat ketika pada Februari 2011 berkesempatan mengunjungi situs tersebut. Perjalanan yang ditempuh dengan kendaraan umum itu terbilang tak mudah. Ketika sudah dekat dengan situs pun banyak warga yang tidak mengenali Gunung Padang. “Gunung Padang? Di Sumatera Barat?” ujar salah seorang warga yang saya tanyai ketika kami sempat tersesat. Sopir angkutan yang mengantar kami pun tidak tahu pasti lokasi Gunung Padang. Beliau hanya pernah mendengar saja.
Berbekal tanya sana sini akhirnya kami pun makin mendekat ke Desa Karyamukti. Saat itu hari sudah gelap. Padahal kami berangkat dari Stasiun Bogor sejak pukul 10.00 pagi. Jalanan berkelak kelok penuh lubang. Badan kami pun lebih sering terguncang-guncang di dalam angkutan tua dengan shock breakeryang sudah lama mati.
Malam itu rasanya lama sekali. Ketika akhirnya tiba pun kondisi lingkungan rumah tempat kami menginap gelap gulita. Pencahayaan hanya ada di dalam rumah.
Keesokan harinya baru saya ketahui bahwa kami menginap tepat di dekat pintu masuk situs Gunung Padang. Kami menginap di rumah anak juru pelihara situs Gunung Padang.
Kami disambut pagi yang basah dan mendung yang menggelayut. Namun, saya sudah tak sabar untuk sampai ke puncak. Maka pagi itu saya dan kawan-kawan langsung menuju puncak. Kami seperti mencuri langkah pengunjung lain di hari libur itu. Nilai lebih dari menginap di rumah penduduk setempat.
Satu demi satu anak tangga berupa potongan batu menyerupai persegi panjang yang sengaja disusun kami lewati. Langsung terbayang bagaimana para peziarah masa lampau menapakkan langkah di batu-batu ini.
Ya, menurut penelitian, situs Gunung Padang merupakan tempat untuk ritual. Memang, bentuk situs yang memiliki pola pundek berundak lebih dekat dengan pemanfaatan dalam aspek religi. Namun, publikasi terkait situs yang luar biasa dalam kacamata saya ini saat itu masih amat minim.
Lalu pada awal 2012 tiba-tiba Gunung Padang ramai menghiasi layar kaca serta media sosial dan cetak. Situs yang jauh dari hiruk pikuk ini kemudian menjadi bahan pembicaraan di forum-forum skala nasional.
Saat itu, Andi Arif, yang merupakan staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana alam menduga bahwa di bawah Gunung Padang terdapat kandungan logam. Logam tersebut kemungkinan berupa emas peninggalan Kerajaan Sunda. Andi pun berpikir jika dugaan itu benar maka emas itu bisa dimanfaatkan negara sebagai sumber daya alam (Tempo, Senin, 27 Agustus 2012).
Dugaan Andi Arif itu muncul dari kedekatannya dengan kelompok tarekat yang sudah melakukan “penerawangan” ke Gunung Padang. Ini seperti mengulang kejadian beberapa tahun yang silam ketika seorang menteri agama merasa mendapat wangsit bahwa di bawah prasasti Batu Tulis Bogor terdapat harta karun. Maka sang menteri pun menitahkan bawahannya untuk menggali secara serampangan situs batu tulis itu. Hasil penggalian nol besar. Tidak ada harta karun. Situs batu tulis terlanjur rusak.
Hembusan isu kandungan logam mulia di bawah tubuhnya itu lah yang menyebabkan Gunung Padang menjadi selebritis dadakan. Mendadak masyarakat penasaran dan ingin berkunjung ke Gunung Padang.
Tentu fenomena itu ditangkap dengan sangat baik oleh pemerintah daerah. Ini berarti sumber pendapatan baru bagi daerah Cianjur. Selain itu juga menjadi keran baru bagi pendapatan masyarakat setempat. Lalu entah dengan pertimbangan yang matang atau tidak, pintu pariwisata ke Gunung Padang dibuka lebar-lebar.
Dampak positif tersebut jelas dirasakan oleh warga dan pemerintah daerah. Bayangkan, setelah penelitian dari Tim Riset Bencana Katastropik Purba bentukan Andi Arif, pengunjung melonjak jumlahnya hingga 16.000 per bulan. Hal yang paling mengerikan terjadi saat libur lebaran yang mencapai 7.000 orang. Jangan tanya berapa uang yang berputar saat itu.
Tapi apakah kita pernah berpikir bahwa ada dampak negatif yang ditanggung oleh situs Gunung Padang?
Wisatawan sejumlah 16.000 orang itu punya perilaku beragam. Saya bisa pastikan sebagian besar membawa perilaku jelek ketika berkunjung ke situs arkeologi yang menjadi obyek wisata. Dan hal itu terbukti juga lewat berita dari NGI (04/01/2013 ). Banyak kerusakan yang ditemukan di Gunung Padang saat ini. Jika pada kunjungan 2011 saya menemukan beberapa batu terbakar karena aktivitas ritual tertentu di masa kini maka kali ini kondisinya lebih parah lagi.
Batu-batu yang sengaja disusun itu posisinya bergeser akibat terlampau sering dinjak-injak. Hal itu menyebabkan strukturnya berubah dari kondisi awal. Tentu ini akan menimbulkan bias bagi penelitian selanjutnya.
Masih menurut NGI, banyak batu-batu yang dipukul satu sama lain sehingga pecah. Pecahan batu tersebut kemudian dibawa pulang menjadi cinderamata sebagai bagian dari eksistensi. Banyak juga batu yang dicoret-coret dengan cat semprot atau spidol. Lagi-lagi sebentuk perbuatan untuk eksistensi.
Mitos yang dikembangkan ironisnya bukanlah mitos yang mampu mengkonservasi situs, melainkan sebaliknya justru merusak situs. Ada mitos yang menyebutkan bahwa bagi siapa saja yang mampu mengangkat batu yang berdiri tegak, maka keinginannya akan terkabul. Mitos sejenis juga menimpa salah satu patung buddha di dalam stupa Candi Borobudur. Mitos-mitos yang menyesatkan ini seiring dengan meningkatnya jumlah pengunjung, pada akhirnya hanya akan mempercepat kematian situs.
Sekali lagi, berpikir ekonomi memang perlu. Situs arkeologi yang diberi nilai baru memang seharusnya memberikan manfaat positif bagi masyarakat di sekitarnya. Namun, jangan pernah melihat hal itu sebagai satu bagian yang berdiri sendiri.
Ada rantai panjang yang harus diikuti agar situs tetap dapat terjaga, usia situs bisa diperpanjang, dan penduduk setempat tetap memperoleh keuntungan secara finansial.
Rusaknya situs Gunung Padang yang mulai terjadi saat ini merupakan efek dari ketidaksiapan pemerintah, pihak terkait pemilik pengetahuan, warga lokal, dan pengunjung. Semestinya budaya cepat saji tanpa proses panjang bukanlah bentuk budaya yang harus kita pertahankan atau kembangkan.
Gunung Padang mungkin bisa menjadi ladang uang. Tapi eksploitasi berlebihan jelas bukan jalan untuk mencapainya. Hal itu hanya akan mengantarkan Gunung Padang pada proses kematian kedua, yang lebih mengenaskan.
Kehancuran situs Gunung Padang di masa kini tentu jauh lebih buruk. Jika situs Gunung Padang hancur maka akan ada bukti materi peradaban nenek moyang bangsa ini yang hilang. Kita tak lagi dapat menjelaskan dengan logis bahwa bangsa ini pernah menguasai teknologi rancang bangun yang penuh perhitungan.
Saatnya Tinggalkan Wisata Eksistensi
Lazim diketahui bahwa budaya berwisata kita masih sangat rendah. Banyak aturan yang sudah dipasang dan bisa terbaca dengan jelas tidak diindahkan oleh para wisatawan. Wisatawan cenderung memuaskan ego sendiri tanpa berpikir bahwa masih ada wisatawan lain dari generasi mendatang yang berhak menikmati apa yang dinikmatinya hari ini. Mereka menjadi bodoh seketika saat sudah dikuasai oleh hasrat untuk “tampil”.
Suara jepretan kamera ditingkahi tawa lebar seraya menginjak-injak situs yang sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun dengan tanpa dosa menjadi pemandangan jamak di situs-situs arkeologi yang dijadikan obyek wisata.
Mereka bahkan rela memanjat, melanggar batas area pengunjung, atau menyentuh obyek-obyek yang tak seharusnya disentuh hanya untuk sebuah foto ataupun mitos. Jarang saya jumpai wisatawan –terutama lokal- yang taat aturan dan berkunjung ke situs arkeologi bukan untuk kepentingan pengabadian momen semata. Saat ini mereka hanya berkunjung, berfoto, dan pulang.
Mereka belum terbiasa untuk memetik sesuatu di situs-situs arkeologi yang dikunjunginya. Mereka juga mungkin belum menyadari bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan selama berada di situs arkeologi selain merekam diri lewat potret. Ada aspek edukasi yang terlupakan, baik itu kandungan pengetahuan di situs arkeologi maupun cara beriwisata secara cerdas dan bijak.
Perilaku wisatawan yang “anarkis” terhadap situs arkeologi itu bisa jadi bukan salah mereka seutuhnya. Ada pihak lain seperti agen & pemandu wisata yang semestinya bertanggungjawab untuk memberikan tata cara kunjungan di awal.
Para agen ini diharapkan dapat menyebarkan virus bijak dalam berwisata. Jangan pula justru menjadi pendorong kerusakan situs dengan membiarkan wisatawan yang dipandunya melakukan hal-hal yang merusak.
Bagi saya tidak ada yang berat dengan memberikan pengantar awal sebelum memasuki obyek wisata. Anjuran untuk (1) tidak memanjat atau menyentuh arca, (2) tidak melampaui garis batas yang diperbolehkan untuk pengunjung, (3) tidak memindahkan elemen-elemen di dalam situs, (4)berpotret dan memotret sesuai kaidah dan tidak berlebihan, (5) tidak mengambil apapun dari dalam situs, (6) tidak mengikuti mitos-mitos yang menjurus ke perusakan situs, dan (7) tidak meninggalkan sampah di sembarang tempat tampaknya memang harus diberitahukan sebelum kunjungan.
Setelah itu baru kita melangkah ke tahap selanjutnya. Tahap untuk memberikan pemahaman kepada pengunjung bahwa ada nilai, informasi, pengetahuan yang bisa dipetik dari kunjungan wisata tersebut.
Dengan demikian situs Gunung Padang yang diduga sebagai bangunan prasejarah terbesar di dunia ini tetap bisa lestari dan dinikmati oleh generasi mendatang. (KWA. Wardani/Jaladwara)
Catatan:
(*) Megalitik merupakan sebuah kebudayaan yang muncul pada masa Neolitik. Awalnya sering dikaitkan dengan kebudayaan batu besar. Tak jarang megalitik dipahami sebagai sebuah masa sendiri, terpisah dari Neolitik. Namun, megalitik bukanlah istilah untuk periodesasi, melainkan hasil kebudayaan yang tercipta pada masa Neolitik dan terus berkembang sampai masa selanjutnya bahkan hingga masa sekarang.
Pada masa kemudian, seiring dengan banyaknya temuan baru dan berkembangnya kerangka pikir keilmuan arkeologi maka istilah megalitik tak lagi mengacu pada artefak batu berukuran besar. Megalitik kemudian dipandang sebagai sesuatu yang lebih luas. Tinggalan dari kebudayaan ini pasti akan terkait dengan kultus pemujaan terhadap nenek moyang. Artinya, meskipun tinggalan itu berukuran kecil, jika dia masih terkait dengan pemujaan nenek moyang maka tinggalan tersebut dapat dikategorikan sebagai kebudayaan megalitik. Pandangan terbaru ini lebih melihat sisi ideologis atau gagasan yang tersimpan di balik sebuah benda.