Pusaka merupakan padanan dalam Bahasa Indonesia untuk kata heritage*. Pernyataan seorang teman tempo hari mengenai sebuah bangunan kuna, mengingatkan saya bahwa ternyata masih banyak yang belum memahami pusaka. Menurut pemahamannya bangunan kuna itu hanya rumah biasa karena tidak memiliki nilai sejarah yang spektakuler. Padahal bertahun lalu pernah terjadi aktivitas pembuatan es di sana. Mungkin aktivitas yang langka di era 1970an. Namun karena dianggap biasa, bangunan itu harus lepas dari konteks sejarah lokal karena dianggap tidak populer.
Jadi, apa itu pusaka? Mengutip Om Peter Howard, “Not everything is heritage, but anything could become heritage.” Oleh sebab itu, pusaka di mata saya belum tentu pusaka di mata yang lain. Sebagai dampaknya pusaka terbagi ke dalam kelas-kelas. Ada pusaka tingkat personal, keluarga, RT/RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, Nasional, hingga Internasional. Tentu saja pembedaan kelas itu diposisikan sesuai pada tempatnya dan tak perlu diperdebatkan.
Saya sendiri mendefinisikan pusaka sebagai sesuatu yang mempunyai nilai penting dan ikatan emosional. Saya akan perjuangkan mati-matian untuk menjaga, melestarikan, serta merawatnya. Saya tak akan tinggal diam jika ia hilang atau dirusak orang. Harapannya anak cucu saya kelak bisa menikmati juga pusaka itu. Mereka bisa menjadi kritis dengan pertanyaan-pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” untuk memetik nilai-nilai dari pusaka itu. Jadi, tidak berhenti di saya saja.
Pusaka bisa berupa benda (teraga) dan tak benda (tak teraga). Pusaka benda misalnya, bangunan kuna, kuliner lokal, kain, gunung, danau, dan tanaman langka. Sementara itu pusaka tak benda berupa cara hidup, tari-tarian, dan musik. Di ranah personal, foto keluarga atau kamera “lungsuran” dari kakek bisa masuk kategori pusaka. Di tingkat yang lebih tinggi, pohon asem yang sudah berusia puluhan tahun di pojok gang tempat tinggal kita pun bisa dikategorikan sebagai pusaka.
Lalu kenapa pusaka penting untuk dilestarikan? Pusaka mengantarkan saya pada identitas. Sepeda saya bernilai sangat penting bagi saya. Ia memberikan identitas yang membedakan saya dengan orang lain. Kebetulan sepeda itu saya rakit sendiri. Selain hanya ada satu di dunia ini, saya dan sepeda saya memiliki kisah-kisah personal tersendiri yang tak mungkin sama dengan sepeda milik orang lain. Jadi, sepeda saya masuk kategori pusaka personal/individu.
Sebuah rumah di pecinan yang pernah dijadikan tempat tinggal kapiten Cina di Jogja bisa masuk ke dalam kategori pusaka kota. Situs Trowulan yang mewakili situs perkotaan masa klasik di Indonesia memiliki tingkatan lebih tinggi, yaitu pusaka tingkat nasional. Jadi, jika pusaka-pusaka tersebut terutama yang dimiliki secara kolektif (tingkat nasional) dihancurkan maka sama artinya dengan menghilangkan identitas bangsa itu sendiri. Dapat dibayangkan betapa membosankannya jika kita semua menjadi seragam, memiliki cara hidup, bahasa, arsitektur bangunan, corak kain, upacara adat, serta kuliner yang sama.
Lebih luas lagi, pusaka yang dimiliki kolektif akan membawa saya kepada akar awal saya. Menghilangkan pusaka sama saja seperti ketika seseorang tidak tahu menahu siapa orang tuanya dan tidak memiliki siapa pun atau apa pun untuk mengenali leluhurnya. Dengan pusaka saya bisa tahu dari mana saya berasal. Jika itu hilang, maka sebagian atau seluruh identitas saya akan hilang tercerabut. Harga diri bisa saja turut luntur. Dan yang terpenting, saya tak punya tempat kembali dan tak memiliki lagi bahan cerita untuk diwariskan ke generasi selanjutnya.
Karena materi fisik telah hilang, bukti pun menguap. Informasi berupa pengetahuan yang terawetkan di dalam pusaka tersebut hilang tak berjejak. Kita tak akan lagi tahu bagaimana nenek moyang membangun candi dengan arsitektur yang begitu terukur. Pesan-pesan moral serta kehidupan keseharian di masa lalu yang terekam lewat relief-reliefnya pun tak akan pernah bisa kita petik. Atau, kita kehilangan jejak kuliner-kuliner lokal karena sudah terbiasa “diperbudak” oleh rasa asing yang menggeser posisi bumbu-bumbu asli negeri ini. Bukankah mengerikan membayangkan kita tak lagi tahu cara memasak rendang atau gudeg?
Yang penting juga, pusaka sebenarnya memberikan ruang bagi kita untuk mengenali diri kita sendiri. Mengenal sisi lemah dan kuat dari sendiri lewat materi fisik dan non fisik yang diwariskan turun temurun oleh nenek moyang kita. Jika sudah begitu maka kita pun dengan mudah menentukan masa depan. Kita bisa mempelajari celah-celah agar tak jatuh ke lubang yang sama dan menciptakan inovasi dari hal-hal baik di masa lampau.
Dengan pusaka kita juga berinteraksi dengan manusia lain. Sesuatu yang kian mahal di era yang serba tergesa-gesa seperti saat ini. Saya berkesempatan untuk menyelami ingatan-ingatan mereka tentang tempat, tentang obyek, dan tentang kisah-kisah yang akan aneh bila berasal dari sesuatu yang baru. Misalnya saja kesempatan untuk ngobrol santai dengan seorang pelaku sejarah. Pusaka dapat menjadi pintu masuk untuk ke masa lampau yang tak pernah saya rasakan sendiri, namun berkaitan erat dengan kehidupan atau identitas saya.
Jika kita sepakat bahwa pusaka mempunyai nilai penting bagi kehidupan kita, maka tentunya perlu ada upaya untuk menjaga dan melestarikannya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk melestarikan pusaka dalam kehidupan sehari-hari atau untuk sekedar ikut merayakan peringatan Hari Pusaka Dunia?
Di bawah ini ada beberapa hal sederhana yang bisa kita lakukan:
1. Membuat pohon silsilah keluarga dan mengumpulkan –serta menyusun- foto-foto keluarga.
2. Gali kisah-kisah keluarga dan barang-barang kesayangan (koleksi) anggota keluarga dari orang tua atau kakek dan nenekmu.
3. Lakukan perawatan terhadap benda-benda koleksimu.
4. Keluar rumah dan berjalan-jalan di lingkungan rumahmu. Temukanlah cerita menarik di balik bangunan, tempat, pohon-pohon langka, melalui orang-orang yang kamu temui di sekitar tempat tersebut.
5. Gali kisah tentang sejarah kotamu lewat orang-orang di sekitarmu – ayah, ibu, eyang, simbah, tetangga. Catat atau rekam perspektif mereka.
6. Jika kamu punya cukup uang, kunjungi museum dan obyek bersejarah terdekat.
7. Bagi yang akrab dengan supermarket dan mall, saatnya bagi kamu untuk sesekali mengunjungi pasar tradisional. Temukan produk-produk lokal dan gali cerita di baliknya. Mungkin produk-produk itu bisa mengantarmu ke resep-resep tradisional dan bahkan kekayaan budaya di tempat kamu tinggal
8. Bagi yang terbiasa dengan makanan cepat saji, saatnya untuk menyantap kuliner tradisional yang sarat nilai/filosofi. Atau kamu juga bisa mencoba meramu sendiri aneka resep tradisional itu, melupakan sejenak bumbu-bumbu instan yang biasa dikonsumsi.
9. Menghadiri acara-acara yang digelar dalam rangka memperingati Hari Pusaka Dunia.
10. Rekam pengalaman atau pendapatmu saat merayakan Hari Pusaka Dunia lewat tulisan, foto, sketsa, atau video. Bagikan melalui blog, web, atau jejaring sosialmu.
Mari ikut mengenal dan melestarikan pusaka di Hari Pusaka Dunia :)
*Termaktub dalam Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia pada 2003