Museum Maritim Indonesia sudah masuk dalam daftar kunjung pada 2020. Tapi sayangnya, pandemi datang. Untungnya pihak museum gercep menyediakan layanan tur virtual mandiri untuk publik. Jadi, meskipun belum singgah langsung, setidaknya bisa sedikit menikmati koleksi yang dipamerkan.
Ada dua ruang yang dapat kita jelajahi. Kami bergerak ke sayap timur karena jika tidak mengakses info denah maka secara otomatis kita dibawa ke sana terlebih dahulu.Di ruang ini ada sekitar 17 "titik" pemberhentian. Kami berjumpa dengan isi Deklarasi Djuanda (13 Des 1957). Teringat pada obrolan bersama Kang Parid dari KIARA. Deklarasi inilah yang menjamin keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan.
Kami juga diajak mampir ke beberapa pelabuhan lama, seperti Pelabuhan Belawan, Teluk Bayur, Sunda Kelapa, Onrust, Cirebon, Tanjung Perak, dan Tanjung Mas. Rata-rata menampilkan lini masa sejarah pelabuhan. Meskipun beberapa menyebutkan peran penting pelabuhan itu di masa lampau. Misalnya saja Pelabuhan Teluk Bayur yang dulu bernama Emmahaven sebagai pintu keluar batu bara dari Ombilin menuju Eropa.
Bagian yang menarik lainnya ialah ketika kami diajak masuk ke dalam peti kemas. Wah, jika kunjungan langsung tampaknya bagian ini jadi salah satu favorit kami nih. Di dalamnya kita bisa lihat ilustrasi irisan kapal yang menunjukkan alokasi penyimpanan barang-barang di dalam kapal. Jadi, dapat gambaran di mana rempah atau kayu disimpan.
Di sayap barat, ada 19 "titik" pemberhentian. Bermula dari peta migrasi austronesia lalu cerita bagaimana orang-orang Eropa berdagang rempah (pala dan cengkeh) langsung dengan orang lokal. Lalu kembali lagi ke pelabuhan-pelabuhan masa awal Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Di antaranya terselip relief kapal Borobudur untuk menunjukkan teknologi perkapalan masa Mataram Kuno. Navigasi kemudian bergeser ke pelabuhan-pelabuhan masa Islam hingga masuknya pengaruh orang-orang Eropa yang diwakili oleh VOC. Kunjungan di sayap barat diakhiri dengan diorama aktivitas bongkar muat barang di pelabuhan.
Namun, kekurangan dari sajian virtual ini ialah kita tidak bisa kembali ke titik sebelumnya. Misal nih, ingin membaca ulang label sebelumnya untuk mencari relasi dengan label yang saat ini dibaca. Alur ceritanya di beberapa titik masih terasa lompat. Misal, dari transaksi pala bersama orang Eropa ke Sriwijaya.
Label yang ditampilkan juga masih terlampau umum. Rata-rata bercerita tentang lini masa. Kebanyakan bersifat deskriptif. Narasi tentang VOC disajikan dengan nada sangat netral. Intinya, setelah melakukan praktik dagangnya, VOC menjadi perusahaan multinasional dengan aset terbanyak sepanjang sejarah. Padahal terselip harapan bahwa pihak museum menampilkan narasi yang lebih menggugah dan mengajak pengunjung untuk berpikir. Misal, sistem dan praktik dagang seperti apa yang dibangun VOC sehingga mendatangkan keuntungan fantastis pada eranya?
Namun demikian, kunjungan virtual di Museum Maritim Indonesia ini dapat memberikan perspektif baru bagi kami. Terutama tentang bagaimana cara museum mempermudah kunjungan virtual untuk para pengunjungnya. Meskipun tanpa menawarkan subtema-subtema tertentu. Tetap patut dikunjungi!